- Tim tvOne/Sukri
Ngaku Pemilik, Seorang Pengacara Pagari Lahan dan Larang Petani Tanam Padi
Serdang Bedagai, tvOnenews.com - Puluhan warga yang berprofesi sebagai petani di Dusun III, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, sujud syukur pasca lima bulan lamanya tak bisa menanam padi.
Bukan tanpa sebab, para petani tersebut tidak menanamkan bibit padinya, karena salah seorang pengacara mengaku sebagai pihak yang menang atas gugatan lahan pada 2021 lalu.
"Kami memohon kepada pemerintah pusat dalam hal ini bapak presiden Republik Indonesia Joko Widodo, maupun Bupati Serdang Bedagai, H. Darma Wijaya, untuk memperhatikan kondisi kami, lahan yang sudah ditempati sejak tahun 1952 ini sejatinya milik leluhur kami," terang Jasmin Saragih, ketika ditemui tvOnenews, Senin (30/10).
Sementara itu, masyarakat Desa Sei Nagalawan sejak bulan Mei lalu, tidak bisa menanam padi pasca Pengadilan Negeri Sei Rampah melakukan eksekusi terhadap 12 hektare lahan dengan dalih lahan itu masuk ke dalam zona hijau, atau kawasan hutan untuk mendukung vegetasi pesisir pantai yang sertifikatnya dikeluarkan oleh BPN Serdang Bedagai.
Namun, yang tampak di lapangan, bidang tanah yang dipagari mencapai 48 hektare. Sementara pada putusan PN Sei Rampah 10 mei 2023 lalu, jumlah objek tanah yang dikabulkan untuk dieksekusi hanya 12 hektare.
"Untuk yang 12 hektare dieksekusi kemarin sudah tidak apa-apa, kami ikhlas menerimanya. Namun, yang terjadi kini sisa di luar zona eksekusi tanah, seluas kurang lebih mencapai 36 hektare juga turut dipagar oleh oknum pengacara, dengan dalih memenangkan hasil sengketa," tambahnya.
Jasmin pun menyebut, selama ini masyarakat memiliki 36 hektare lahan sawah di lokasi dengan kepemilikan lebih kurang 35 keluarga.
Untuk itu, ia dan masyarakat tani Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, mengambil sikap untuk kembali menanam padi di lokasi. Sebab, mereka tidak mau berdiam diri atas kezoliman yang terjadi.
"Sambil berlutut dan bersujud di atas lahan ini, kami merasa bahagia dan senang. Perlahan kami diusir secara halus, kami bertani di sini berpuluh-puluh tahun. Tapi sekarang mereka berusaha mengambili tanah kami satu per satu mengatasnamakan pengacara," tutup Jasmin.
Sementara itu, di lokasi yang sama, seorang pengacara bernama Rustam Efendi datang melakukan pengecekan terhadap masyarakat yang sedang bertani. Ia menyebut jika tanah ini adalah tanah mereka yang mereka kuasai berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.
"Kita punya putusan pengadilan dari Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Jadi, tanah ini sudah ingkrah di pengadilan dan telah memiliki surat eksekusi dari Pengadilan Negeri Lubuk Pakam," papar Rustam Efendi, saat di lokasi.
Ucapan itupun langsung ditimpali para petani. Masyarakat tani pun bertanya, berapa lahan yang dieksekusi. Rustam pun menjawab berdasarkan putusan pengadilan yang dieksekusi seluas 12 hektare. Namun dalam gugatan itu, mereka menggugat hingga seluas 48 hektare.
"Jadi pemilik tanah mengatakan, meski beliau sudah meninggal, tanah 48 hektare ini adalah tanah mereka. Meskipun yang dieksekusi seluas 12 hektare," timpalnya.
Ketika disinggung, apakah pihak pengacara memiliki surat eksekusi seluas 36 hektare di luar dari 12 hektare tersebut. Ia mengaku, ada, namun di kantor mereka di Medan.
"Saat ini tidak ada sama kami, kalau memang mau datanya, mari duduk bersama. Agar kami tidak salah, abang tidak salah dan tidak ada yang salah," jelas Rustam.
Saat disinggung kembali, apakah masyarakat boleh menanam padi. Walau dalam keadaan masih dipagar, Rustam dengan tegas mengatakan tidak. Jika petani nekat, pihaknya akan melapokan tindakan tersebut ke pihak kepolisian atas dalih pengrusakan lahan. (asr/wna)