- Tim tvOne/Tim tvOne
Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera di Lampung dan Langkat, Aktivis Lingkungan: Di mana Pemerintah?
Medan, tvOnenews.com - Konflik antara manusia dengan satwa liar dilindungi terjadi di Lampung Barat, Provinsi Lampung dan Sumatera Utara, persisnya di Barak Itir Dusun V Aman Damai, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat.
Selama Februari hingga Maret 2024, konflik manusia dan satwa di dua daerah itu bahkan menimbulkan korban jiwa. Diketahui, harimau sumatera di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan telah menerkam empat orang warga. Dua orang meninggal dan dua orang luka-luka.
Dua korban yang diserang harimau sumatera yang selamat adalah Anwar (34) dan Samanan (41). Sedangkan korban meninggal dunia yakni Gunarso (60) diterkam harimau pada Kamis 8 Februari 2024, dan Sahri (27), terjadi Rabu 21 Februari 2024.
Sementara itu, ancaman manusia dari satwa liar ini juga terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pada Senin, 11 Maret 2023, seorang petani bernama Jerimia Peranda Ginting (25) nyaris tewas diterkam harimau sumatera saat sedang memanen cabai. Korban merupakan warga Dusun V Aman Damai, Desa Harapan Maju, Sei Lepan, Langkat, dan sudah mendapatkan perawatan medis akibat serangan satwa liar dilindungi tersebut.
Jerimia Peranda Ginting (25), korban terkaman harimau di Langkat saat dibawa ke rumah sakit. (tim tvOne/Taufik)
Seorang aktivis lingkungan di Sumut, Yudha Lesmana Pohan, angkat suara soal konflik manusia dengan hewan. Menurut Yudha, peristiwa yang dialami Jerimia Peranda terjadi beberapa hari usai pelepasliaran dua harimau sumatera, Ambar Goldsmith dan Beru Situtung.
Kedua harimau sumatera itu dilepasliarkan ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) pada Rabu, 6 Maret 2024. Ikut serta pada pelepasliaran tersebut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar.
“Apakah harimau sumatera yang menyerang petani cabai ini yang dilepasliarkan kemarin? Muncul dugaan seperti itu, kan, jadinya,” kata Yudha, saat dimintai tanggapannya, Kamis (14/3/2024).
Menurut Yudha Lesmana, yang juga Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara (IKAHUT USU), lokasi pelepasliaran harimau sumatera Ambar Golsmith dan Beru Situtung berada di zona inti blok hutan Lubuk Tanggok, kawasan TNGL Resort Sei Betung SPTN Wilayah VI Besitang, Bidang PTN Wilayah III Stabat, Langkat, Sumut.
"Harimau sumatera masih ingat dengan teritorialnya. Maka, dia akan kembali menguasai teritorialnya, sehingga berpotensi menyerang warga sekitar hutan," sebutnya.
Yudha juga menyoroti peran Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang tidak berjalan dengan baik. "Ya, percuma saja memasang GPS Collar di leher harimau, kalau tidak di-update perkembangannya," sebutnya.
Diterangkan Yudha, GPS Collar yang dipasang di leher harimau sumatera seharusnya juga diberikan info kepada masyarakat pinggiran hutan, untuk mengetahui pergerakan si raja rimba tersebut.
GPS Collar merupakan teknologi yang berfungsi untuk mendeteksi posisi satwa dengan prinsip GPS yang diletakkan pada bagian leher. Alat ini dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk melacak, mengumpulkan data, dan mengamati perilaku satwa liar.
"Kalau memang yang menyerang itu harimau sumatera yang dilepasliarkan Bu Menteri KLHK, yaitu Si Ambar dan Situtung, peran BBKSDA Sumut yang menaungi itu perlu dipertanyakan," tegasnya.
"Karena ini menyangkut nyawa manusia. Di mana letak empati BKSDA dalam berprikemanusiaan? Wajib dikoreksi kinerjanya.”
Selain itu, Yudha Lesmana juga menilai konflik manusia dan satwa yang terjadi di Lampung mengindikasikan ketidakhadiran pemerintah dalam menangani konflik, di mana keresahan masyarakat akan ancaman harimau berujung pada tindakan anarkis, yaitu pembakaran kantor Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung.
“Di mana pemerintah? Ini situasi yang emergensi, harusnya ada sikap empati yang berwujud tindakan, bukan menunggu, apalagi sudah atau ada korban jiwa. Sifat harimau itu pengingat, jadi kalau dia dan koloninya diganggu, dia akan mengingat,” tegas Yudha.
Terpisah, Kepala Bidang PTN Wilayah III Balai Besar TNGL, Palber Turnip, yang dikonfirmasi apakah harimau yang menyerang warga ada kaitannya dengan dua harimau yang baru dilepasliarkan beberapa waktu lalu, ia mengatakan, bisa ada dan bisa tidak.
Namun, tegasnya, poin terpenting adalah, ada oknum-oknum masyarakat yang masuk kawasan TNGL secara ilegal, dengan cara merambah, memotong kayu, sehingga menjadi pelaku pengerusakan hutan.
“Jadi, kalaupun harimau itu yang sudah ada, tidak ada kesalahan di pihak pemerintah atau harimau sumatera. Lalu, kedua harimau sumatera yang dilepasliarkan itu asal-usulnya memang dari dalam kawasan TNGL,” tegasnya.
Imbauan ke Warga
Terkait peristiwa ini, Kasi Humas Polres Langkat, AKP Rajendra Kusuma mengimbau kepada warga agar tetap waspada saat beraktivitas di kawasan areal yang berbatasan dengan TNGL. "Kawasan TNGL merupakan tempat ekosistem binatang liar seperti harimau sumatera yang saat ini populasinya semakin langka," kata Rajendra.
Pihak kepolisian juga sudah berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengambil langkah-langkah agar binatang liar tidak keluar dari kawasan habitatnya, dan masuk ke pemukiman warga.
Satwa Liar Dilindungi
Untuk diketahui, harimau sumatera atau Panthera tigris sumatrae termasuk satwa liar dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Mengutip data dari KLHK, populasi harimau Sumatra yang hidup di habitat aslinya diperkirakan mencapai 600 ekor pada tahun 2019.
Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) harimau sumatera termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah. (wna)