- Tim tvOne - Andri Prasetiyo
PSHK FH UII Sebut Putusan MK Lebih Kental Aspek Politis Dibanding Yuridis
PSHK juga menilai bahwa ada hakim yang berubah dalam waktu sekejap. Padahal tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat.
"Dengan amar putusan yang ditegaskan "..pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”, nampak salah satu tujuannya untuk kepentingan kelompok tertentu yang bakal cawapresnya sedang menduduki jabatan kepala daerah (baca: walikota)," terangnya.
PSHK menilai, putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut tidak konsisten dengan putusan dalam kasus serupa sebelumnya. Dalam putusan-putusan sebelumnya, MK bersikap persoalan ini menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), sekalipun ada hakim yang berpendapat berbeda.
Tetapi, di sisi lain, putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK justru mengambil sikap judicial activism dengan menafsirkan melalui ketentuan lain.
"Dengan inskonsistensi MK yang demikian, telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta ambiguitas Putusan MK," ucapnya.
Menurutnya, tafsir MK dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 sangat ekstensif dan ultra petita atau melampaui yang dimohonkan. Petitum pemohon bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Pemohon menggunakan “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official).