- Pemkot Yogyakarta
Agar Jogja Tetap Istimewa
tvOnenews.com - Jogja Jogja tetap Istimewa, Istimewa negerinya istimewa orangnya. Jogja Jogja tetap Istimewa, Jogja istimewa untuk Indonesia.
Kalimat di atas diucapkan oleh Presiden Soekarno untuk memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada keraton dan rakyat Yogyakarta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kalimat tersebut kemudian dikutip Marzuki Mohamad alias Kill The DJ sebagai pembuka lagu Jogja Istimewa (2009) yang populer sampai hari ini.
Jogja sebagai destinasi wisata kebanggaan Indonesia, selalu berhasil menghadirkan suasana syahdu nan damai bagi siapa saja yang menginjakkan kaki di sana.
Perasaan tenang yang menyeruak ke relung jiwa itu digambarkan dengan indah oleh Kill The DJ di penggalan lirik selanjutnya:
Negeri paling penak rasane koyo swargo
(Negeri paling nyaman seperti surga)
Ora peduli dunyo dadi neroko
(Tidak peduli dunia sudah jadi neraka)
Ning kene tansah edi peni lan mardiko
(Di sini kami selalu nyaman dan merdeka)
Tak heran jika Yogyakarta tak pernah sepi. Yogyakarta sempat puasa tamu di masa pandemi COVID-19. Setelah itu, Yogyakarta kembali dibanjiri wisatawan.
Sayang, di pertengahan tahun 2023 kemarin bau tak sedap sempat muncul dari Yogyakarta. Masalah sampah jadi persoalan besar di Kota Pelajar itu.
(Foto: Suasana sampah menumpuk di tepi jalan Kota Yogyakarta)
Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta volume sampah dari Kota Yogyakarta bisa mencapai sekitar 100-130 ton per hari.
Rupanya penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, Bantul sejak 23 Juli 2023 menjadi penyebab menumpuknya sampah di Yogyakarta.
Penutupan tersebut dilakukan karena kapasitas penampungan sampah di lahan TPA Piyungan sudah melebihi batas. Menanggapi isu tersebut, Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada (UGM) kemudian mengeluarkan rilis.
“Pertanyaannya, kenapa setelah penuh, setelah ditutup baru gaduh. Memangnya selama ini kita tidak punya masalah sampah? Sekarang kita bisa melihat ya, yang selama ini kita kira sudah dikelola, ternyata belum,” kata Dosen FISIPOL UGM Nur Azizah dikutip dari laman UGM, Kamis (4/1/2024).
Menurut Azizah penutupan TPA Piyungan ini bukan yang pertama kalinya. Namun terus berulang dan belum melahirkan solusi yang tepat.
Padahal peraturan mengenai pengelolaan sampah telah lama diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“(Di UU itu) Sudah disebutkan tentang 3R (Reduce, Reuse, Recycle), bahkan muncul juga EPR atau Extended Producer Responsibility,” jelas Azizah.
Bahkan frasa TPA yang sebelumnya berkepanjangan Tempat Pembuangan Akhir sudah diubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir. Maka idealnya, apa yang masuk ke TPA hanya residu saja.
Tabungan Hijau jadi solusi
Dinik Fitri pegiat Eco Finance Literacy sekaligus dosen UIN Sunan Kalijaga mendirikan bank sampah Gatra Sejahtera di komplek perumahan Griya Gatra Sejahtera, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
Pendirian bank sampah sederhana yang berawal dari kegiatan pengabdian masyarakat ini berubah menjadi serius setelah mendapat respons positif dari masyarakat.
(Foto: Aplikasi Tabungan Hijau)
Setelah berhasil mengonversi sampah menjadi tabungan uang, Dinik dan tim membuat aplikasi Tabungan Hijau dan menggandeng Pegadaian Syariah.
Aplikasi Tabungan Hijau membantu bank sampah melakukan pencatatan transaksi nasabahnya.
“Jadi sekarang nggak hanya tabungan uang, kalau nasabah ingin dikonversi emas, sekarang bisa,” kata Dinik.
Tabungan Hijau pun semakin diminati. Dinik dan tim mengaku kian tertarik menseriusi program ekonomi hijau bersama Pegadaian Syariah ini.
“Akhirnya kami kembangkan ke TPST 3R Piyungan. Tahun 2023 coba juga ke pasar tradisional, dan pesantren. Kami gandeng 7 pesantren sejauh ini,” ujar Dinik.
“Kalau pasar tradisional, Pasar Desa Nirmala di Kalurahan Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul jadi percontohannya,” imbuhnya.
Di pasar dan pesantren Dinik mengusung konsep zero waste plus peternakan dan pertanian organik.
(Foto: Rak maggot bank sampah yang dikelola Tabungan Hijau)
Sampah organik yang dihasilkan sehari-hari di pasar dan pesantren bisa dijadikan pakan maggot, yang maggotnya nanti bisa dimanfaatkan untuk pakan ayam dan ikan.
“Sehingga sampahnya selesai di pasar. Tidak perlu diangkut ke TPA segala,” kata Dinik.
“Kami ingin buatkan juga nanti pertanian hidroponiknya. Jadi semakin terlihat ekonomi sirkularnya,” tambahnya.
Sedangkan untuk sampah non organik diolah menjadi raw material yang bisa dimanfaatkan ulang oleh industri, seperti plastik cacah dan styrofoam leleh.
“Kalau ada minyak jelantah bisa diolah jadi sabun dan biodiesel,” terang Dinik.
“Lingkungan pesantren sama seperti ibu-ibu PKK di perumahan dan pedagang pasar, sangat potensial menabung emas” imbuhnya.
Selain menggandeng Pegadaian Syariah, Tabungan Hijau juga melibatkan mahasiswa, tokoh masyarakat setempat, hingga Deputi Keuangan Inklusif Keuangan Syariah (KIKS) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Rencana kami juga mau buat sistem jemput sampah kayak ojek online gitu. Jadi ibu-ibu rumah tangga bisa pesan untuk diambil sampahnya lewat Tabungan Hijau retail. Jadi nggak melalui bank sampah,” jelas Dinik.
Semangat Tabungan Hijau sejalan dengan program Pemda
Apa yang dilakukan Dinik dan tim Tabungan Hijau senada dengan program pemerintah daerah (Pemda) Yogyakarta dalam mengatasi persoalan sampah.
Mulai tahun 2024 TPA Regional Piyungan sudah tidak lagi menampung sampah dari kota maupun kabupaten di wilayah provinsi DIY.
(Foto: Pengelolaan sampah oleh Pemkot Yogyakarta)
Nantinya setiap wilayah akan mengelola sampahnya secara mandiri. Kota Yogyakarta sendiri akan memanfaatkan Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS 3R) Nitikan dan Karangmiri.
Ada juga di Nitikan 2, TPST Piyungan, serta TPST yang dikelola oleh BUMD Pemkot Yogyakarta bersama pihak swasta.
Nantinya proses pemusnahan sampah akan menggunakan teknologi ramah lingkungan.
“Targetnya sudah bisa berjalan secara sistematis di bulan Mei tahun 2024,” kata Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya dikutip dari laman Pemkot, Kamis (4/1/2023).
Kota Yogyakarta juga akan menguatkan Gerakan Zero Sampah Anorganik (GZSA) dan Gerakan Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori Ala Jogja (Mbah Dirjo).
(amr)