- Istimewa
Larangan Perdagangan Barang Impor di Bawah Rp1,5 Juta Marketplace Dianggap Melanggar Kesepakatan WTO
tvOnenews.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE), Sonny Harsono, menyampaikan tanggapan terhadap Kementerian Perdagangan RI yang tetap melanjutkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Menurutnya, ada tiga poin yang harus dikedepankan dalam revisi tersebut.
Pertama, mengenai pelarangan perdagangan barang yang berada di bawah harga Rp1,5 juta (USD 100) yang dijual secara cross-border harus dibatalkan, karena proteksi dengan cara pelarangan dapat dikategorikan melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sesuai kesepakatan bersama berdasarkan perjanjian World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia.
Oleh karena itu apabila dilanggar, Indonesia akan menghadapi kesulitan dalam kancah perdagangan internasional. Kekhawatiran serupa pun sebenarnya telah disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terhadap rencana penerapan kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan tersebut. APLE juga menyayangkan kebijakan ini yang tidak disiapkan dengan kajian komprehensif, dan masih menggunakan pendekatan secara konvensional.
Kedua, Sonny meningatkan bahwa cross-border trading merupakan bentuk perdagangan masa depan dan telah berlaku universal dengan asas resiprokal atau timbal balik sesama negara. Saat ini, UMKM Tanah Air telah menikmati dan sangat diuntungkan sebagai merchant ekspor secara cross-border ke enam negara ASEAN.
Oleh karena itu, apabila terjadi pelarangan impor ke Indonesia, maka keberlangsungan bisnis puluhan juta UMKM dengan pasar ekspor pun akan terancam. “Sebab, ada asas resiprokal yang diterapkan oleh negara-negara lain,” ujar Sonny. Lebih lanjut, aturan dari Kementerian Perdagangan ini juga tidak pernah membicarakan tentang sistem pengawasannya.
Kemudian tentang poin ketiga dalam hal pemasukan negara, sebaiknya pajak atas barang hasil impor cross-border dinaikkan bukan dilarang tindakan impornya, karena ada pemasukan negara dari pajak triliunan setahun dari proses importasi cross-border ini dan sebenarnya telah digunakan sistem delivery duty paid (DDP) dengan menerapkan e-catalog, untuk memastikan pemenuhan pembayaran bea masuk dan pajak impor barang e-commerce. Sistem ini pun diakui sebagai yang terbaik di Kawasan ASEAN.
Asosiasi pun mengingatkan, pembeli barang impor cross-border bukanlah market UMKM karena barang-barang tersebut tidak tersedia di dalam negeri. Pembelinya pun harus menunggu delapan sampai sepuluh hari. Oleh karena itu, kecil kemungkinannya barang yang diperdagangkan adalah barang yang bersentuhan dengan produk UMKM. Lazimnya, produk UMKM dapat diperoleh dengan mudah di dalam negeri.