Ekspansi Industri Manufaktur Dalam Kondisi Darurat, Ekonom Sebut Pemerintah Perlu Beri Penuruan Tarif PPN Sementara.
Sumber :
  • Antara Foto

Ekspansi Industri Manufaktur Dalam Kondisi Darurat, Ekonom Sebut Pemerintah Perlu Beri Penuruan Tarif PPN Sementara

Selasa, 2 Juli 2024 - 11:34 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Ekspansi industri manufaktur yang yang sudah terjadi dalam tiga tahun terakhir, mulai terancam setelah turun tajam dalam tiga bulan terakir. Untuk menghindari terjadinya kontraksi di sektor manufaktur, ekonom menilai pemerintah perlu memberikan relaksasi atau insentif fiskal. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira merekomendasikan pemerintah menerapkan relaksasi tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk memulihkan sektor industri manufaktur.

Saat ini, tarif PPN yang berlaku umum adalah 11 persen dan akan naik menjadi 12 persen di 2025. Alih - alih naik di tahun depan, Bhima mengusulkan agar pemerintah menurunkan tarif menjadi 7 - 8 persen di tahun depan. 
 
"Perlu dukungan dari pemerintah untuk jaga demand side (sisi permintaan) lewat relaksasi tarif PPN," kata Bhima di Jakarta, Selasa (2/7/2024). Bhima menjelaskan, penerapan relaksasi tarif PPN ini hanya bersifat sementara (temporary), khususnya diterapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

Dia mengungkapkan hal tersebut menyusul laporan S&P Global Market Intelligence yang menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juni mengalami pelemahan 1,4 poin menjadi 50,7  di Juni 2024.
 
Lebih lanjut, Bhima menyampaikan penyebab penurunan PMI manufaktur tersebut terkait dengan naiknya biaya bahan baku karena pelemahan nilai tukar rupiah, masih tingginya rasio suku bunga, serta adanya tekanan inflasi bahan makanan, sehingga membuat permintaan terhadap produk industri mengalami penurunan.

Oleh sebab itu, dia menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk melindungi sektor industri dengan kebijakan tarif untuk membatasi impor tidak akan cukup untuk memulihkan sektor manufaktur. 
 
Bhima merekomendasikan untuk melakukan relaksasi tarif PPN, ia juga ingin pemerintah melakukan pengendalian inflasi pangan, ekspansi pasar ekspor alternatif, memberikan diskon tarif listrik 40-50 persen di jam beban puncak, serta melakukan kembali pengetatan impor.


 
Ancam APBN

Namun, suara berbeda datang dari ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah yang menilai relaksasi PPN sulit untuk dilakukan. Dia mengaku, penurunan tarif PPN berpotensi mengganggu penerimaan negara yang berujung pada defisit perekonomian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
 
"Harus kita siapkan dulu di sisi yang lainnya, karena kalau penerimaan itu turun, sementara belanja pemerintah masih diharapkan naik dengan semua program-program pemerintah, artinya defisit melebar, defisit melebar itu berarti utangnya naik," kata Piter.
 
Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan perlunya penyesuaian pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di tanah air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.

Regulasi yang dimaksud,  adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini menyebabkan turunnya optimisme para pelaku industri, yang berpengaruh pada penurunan PMI. (hsb)

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
04:33
07:01
06:26
01:11
02:39
02:22
Viral