- M. Afridho
Ada Laporan Mark Up Impor Beras Rp2,7 Triliun, Bulog Tetap Lanjutkan Impor; Tapi Utamakan Pengadaan Beras Lokal
Jakarta, tvOnenews.com - Di tengah laporan adanya dugaan mark up atau penggelembungan harga impor beras senilai Rp2,7 triliun, rencana pengadaan impor beras Perum Bulog di tahun 2024 ternyata tetap berjalan.
Untuk tahun 2024, Bulog telah mendapat penugasan impor beras sebesar 3,6 juta ton. Sementara realisasi Januari - Mei 2024, realisasinya baru sebesar 2,2 juta ton. Artinya, Bulog masih memiliki sisa kuota impor sebesar 1,4 juta ton yang belum dilakukan.
Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengaku bahwa sisa penugasan impor akan tetap dilakukan secara bertahap hingga akhir 2024. Namun, dia menegaskan bahwa Bulog akan memprioritaskan penyerapan beras lokal.
"Impor beras dilakukan secara bertahap, tetap mengutamakan penyerapan gabah dan beras dalam negeri serta memperhatikan neraca beras nasional yang ada," kata Bayu dalam keterangan di Jakarta, Minggu (7/7/2024).
Untuk pengadaan beras dalam negeri, hingga akhir Juni 2024, Bulog telah berhasil melakukan pembelian 800 ribu ton beras. Tahun ini, Bulog optimistis bisa menyerap 1 juta ton beras dalam negeri, atau melebihi target yang ditetapkan pemerintah sebesar 900 ribu ton.
Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan bahwa adanya perubahan iklim, berkurangnya lahan pertanian dan penurunan faktor produksi lainnya seringkali menghambat pencapaian target produksi pangan.
"Untuk mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi tersebut, impor beras diperlukan agar tidak terjadi kelangkaan yang dapat memicu kenaikan harga secara drastis," tutur Bustanul.
Demmurage Impor Beras
Lebih lanjut, Bulog juga membantah adanya laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut terjadinya mark up sebesar Rp2,7 triliun dalam pengadaan impor 2,2 juta ton beras di 2024.
Selain itu, disebutkan bahwa terjadi kerugian negara akibat demmurage impor beras senilai Rp294,5 miliar, yang menyeret nama Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Bulog Bayu Krisnamurthi.
Lebih lanjut Bayu menjelaskan, dalam melakukan impor beras, Bulog telah memperhitungkan total biaya demurrage (denda bongkar muat) yang harus dibayarkan, yang biasanya tidak lebih dari 3 persen dibandingkan dengan nilai produk yang diimpor.
"Biaya demurrage seperti halnya biaya despatch adalah konsekuensi logis dari mekanisme ekspor impor," jelas Bayu.
Pakar Pangan Indonesia Tito Pranolo mengatakan bahwa jika membahas demurrage maka juga harus dibahas soal despatch, yaitu bonus yang diberikan karena bongkar barang terjadi lebih cepat.
"Tentunya keduanya pernah dialami oleh Perum Bulog sebagai operator pelaksana penerima mandat impor beras dari pemerintah dan selama ini Perum Bulog tidak pernah membebani masyarakat karenanya," kata Tito.
Menurut dia, alur impor beras yang berlaku di Indonesia saat ini, pertama penentuan kebutuhan impor dilakukan melalui koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag), dan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Kedua, mengenai regulasi dan perizinan, dimana proses impor beras diatur oleh berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perum Bulog sebagai badan usaha milik negara yang bertanggung jawab dalam stabilisasi harga dan ketersediaan pangan, ditugaskan untuk melaksanakan impor beras.
"Perizinan impor melibatkan Kementerian Perdagangan yang mengeluarkan izin berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian dan instansi terkait lainnya," jelasnya.
Ketiga, proses pengadaan dan pengiriman. Dimana, setelah mendapatkan izin, proses pengadaan beras dilakukan melalui tender internasional atau negosiasi langsung dengan negara produsen. "Beras yang diimpor biasanya berasal dari negara-negara produsen utama seperti Thailand, Vietnam, Kamboja dan India," ujarnya.
Proses pengiriman beras dilakukan dengan memastikan kualitas dan standar keamanan pangan. Namun, lanjut Tito, sejak pandemi COVID-19, beberapa negara pengekspor beras seperti India, tidak mengizinkan lagi ekspor beras dengan alasan utama untuk ketahanan pangan negaranya sendiri.
Keempat, distribusi dan penyaluran. Beras yang telah diimpor kemudian didistribusikan melalui jaringan distribusi Perum Bulog yang mencakup pasar tradisional, modern retail, e-marketplace, maupun yang didukung oleh Perum BULOG sendiri, seperti BOSS Food dan Rumah Pangan Kita (RPK).
Selanjutnya yang kelima, pengawasan dan kontrol dilakukan secara ketat untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam kualitas dan kuantitas. (ant)