- Miko, tvOne
Bukan Hanya Pembudidaya, Perusahaan Joint Venture Juga Alami Kelangkaan Benih Bening Lobster (BBL), Ekspor Ilegas Diduga Masih Marak
Jakarta, tvOnenews.com - Kelangkaan Benih Bening Lobster (BBL) ternyata bukan hanya menyulitkan pembudidaya lobster, tetapi juga dialami oleh perusahaan joint venture Indonesia - Vietnam. Lima perusahaan joint venture yang mendapat izin untuk mengekspor benur justru mempertanyakan kemana larinya benur di pasaran?
“Saat ini kami juga sedang kesulitan memperoleh pasokan BBL. Pertanyaannya bila pembudidaya non-joint venture dan joint venture kesulitan memperoleh BBL, pasokan yang ada lari kemana?” kata PR Manager PT Ratuworld Aquaculture International, Nayla Azmi, di Jakarta, dalam keterangannya yang dikutip Senin, (22/7/2024).
Terjadinya kelangkaan dan melonjaknya harga BBL saat ini dicurigai sebagai akibat dari masih tingginya ekspor ilegal BBL atau penyelundupan benur. “Penelusuran tim kami di lapangan BBL itu disalurkan ke pasar gelap untuk diselundupkan,” kata Nayla Azmi.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7/2024 yang mengizinkan pembudidayaan di luar wilayah Indonesia.
Saat ini terdapat lima perusahaan joint venture Indonesia-Vietnam yang telah mengantongi izin dengan skema kerja sama antar Pemerintah (G to G). Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Idovin Aquaculture International, PT Mutagreen Aquaculture International, PT Idichi Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, dan PT Gajaya Aquaculture International.
Rantai Pasok
Lebih lanjut dijelaskan, kelima perusahaan joint venture berkomitmen untuk mendorong Indonesia menjadi bagian penting dari rantai pasok lobster dunia. Perwujudan dari komitmen tersebut antara lain dengan membangun tempat budidaya yang menggunakan teknologi aquatech berskala Industri pertama di Indonesia.
“Lokasi budidaya tersebut berada di lahan seluas 10 hektar di Jembrana, Bali. Selain itu, dibangun pula warehouse berstandar internasional di Tangerang Banten,” jelas Nayla Azmi.
Setiap mengirimkan BBL ke Vietnam untuk budidaya, perusahaan joint venture harus membayar biaya pelayanan sebesar Rp3.000 per ekor BBL. Pungutan tersebut menjadi pemasukan negara yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan industri perikanan nasional, termasuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menggerakkan ekonomi setempat.
Pasar Gelap
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, sejak awal tahun 2024 terdapat delapan kasus penyelundupan BBL telah digagalkan aparat. Dari delapan kasus tersebut, terdapat 982.025 ekor BBL yang diselamatkan dan disita negara. “Dengan potensi hampir 400 juta ekor tersedia setiap tahunnya, mengherankan jika terjadi kelangkaan BBL. Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci memberantas penyelundupan BBL,” ujar Nayla.
Penerapan Undang-undang Perikanan terhadap persoalan di atas, dinilai tidak sesuai dengan tindak pidana yang terjadi dan mens rea (niat jahat) dari para pelakunya. Lebih tepat dan akan menghadirkan kepastian hukum, apabila untuk mengatasinya diterapkan Undang-undang Kepabeanan.
Lebih dari itu, pasar gelap BBL yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun membentuk jaringan yang mengakar. Oleh sebab itu, penegakan hukum tidak boleh hanya menyasar pelaku lapangan tetapi hingga pemodal, di mana pemerintah bisa menjerat mereka dengan Undang-undang TPPU.
“Kelangkaan BBL yang terjadi saat ini menjadi bukti bahwa keberadaan penyelundupan merugikan semua pihak. Untuk keadilan, aparat penegak hukum dapat menerapkan tidak hanya follow the suspect melainkan follow the money,” kata Nayla. (hsb)