- tvOne
Tak Perlu Naikkan PPN 12%, Drajad Wibowo Ingatkan Ada Potensi Penerimaan dari Tunggakan Pajak Rp90-100 Triliun: Sekarang Statusnya Gimana?
Jakarta, tvOnenews.com - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% masih dianggap kurang tepat oleh sejumlah pihak, terutama pengusaha dan pelaku industri manufaktur.
Ekonom INDEF sekaligus politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo menilai, pemerintah sebenarnya masih bisa fokus pada pengumpulan penerimaan pajak yang belum terkumpul daripada menambah beban pajak baru.
Drajad menyampaikan pandangannya tersebut dalam acara Indonesia Business Forum tvOne yang bertajuk 'Ekonomi Melemah, Daya Beli Semakin Payah' pada Kamis (8/8/2024).
Menurutnya, ada banyak sumber penerimaan negara yang bisa digali tanpa harus membebani masyarakat dengan pajak tambahan.
"Pemerintah perlu menggenjot penerimaan negara tanpa membebani pajak (PPN 12%)," kata Drajad Wibowo.
Dalam diskusi bersama Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Pengusaha Pribumi Suryani Motik dan aktivis buruh Mirah Sumirat tersebut, Drajad Wibowo mengungkapkan bahwa Indonesia masih memiliki potensi penerimaan yang besar dari tunggakan pajak yang belum terkumpul.
Ia menyebutkan ada sumber-sumber penerimaan ad hoc yang belum digali maksimal oleh pemerintah.
"Ada sumber-sumber penerimaan yang saya sebut sumber-sumber penerimaan ad hoc. Ad hoc itu artinya nggak rutin, ya nggak bisa rutin."
"Ad hoc itu ada dua. Satu, yang untapped. Untapped itu artinya belum digali. Satu lagi yang sebenarnya nggak perlu digali, uangnya sudah ada tapi uncollected, enggak terkumpulkan. Contohnya pajak-pajak yang sudah inkrah," jelas mantan Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.
Drajad menyoroti, potensi dari penyelesaian pajak yang masih bisa ditagih negara mencapai sekitar Rp90-100 triliun.
Karenanya, hal itu sebenarnya masih bisa menjadi opsi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) alih-alih mendorong pemerintah untuk menaikkan PPN sebesar 12%.
"Pengalaman saya dulu, yang saya lakukan sendiri, ada 100 triliun kita coba kejar. Tapi kemudian karena satu dan lain hal, nggak bisa dilaksanakan. Saya nggak tahu RP100 triliun ini, Rp90 triliun lebih sekian lah ya. Ini sekarang statusnya bagaimana?" ujar Drajad.
"Mereka-mereka (wajib pajak) yang sudah kalah di pengadilan, di kasus sudah kalah, mereka sudah wajib bayar, itu nggak bayar. Nah, ini yang uncollected ini perlu dikumpulkan," tegasnya.
Dalam konteks untuk menggenjot industri manufaktur yang kian lesu, Drajad Wibowo juga mengingatkan pentingnya penggunaan dana yang berhasil dikumpulkan untuk kebijakan yang mendukung revitalisasi industri.
Menurutnya, dana tersebut bisa digunakan untuk kebijakan affirmative action yang mendukung pabrik-pabrik lokal yang kalah bersaing.
"Kalau negara mempunyai dana lebih seperti itu, itu sebenarnya kita bisa mempunyai kebijakan revitalisasi industri. Bukan handout, bukan kita ngasih, tapi kita bisa melakukan kebijakan affirmative action. Misalkan negara melakukan pembelian, ya pembelian dari pabrik-pabrik yang dianggap tadi kalah bersaing. Itu bisa jadi kunci jawaban," ungkap Drajad.
Dengan memanfaatkan potensi pajak tersebut, Drajad percaya pemerintah bisa membantu stabilisasi ekonomi dan mendukung pertumbuhan industri tanpa harus memberatkan masyarakat dengan pajak tambahan. (rpi)