CPO Indonesia Sudah Lebih Mahal Dari Minyak Biji Matahari: GAPKI Sebut Ada Beban Tambahan Hingga 138 Dolar AS per Ton.
Sumber :
  • hansen, tvonenews.com

Harga CPO Indonesia Lebih Mahal Dari Minyak Biji Matahari: GAPKI Sebut Ada Beban Tambahan Hingga 138 Dolar AS per Ton

Rabu, 28 Agustus 2024 - 08:18 WIB

Bangka Belitung, tvOnenews.com - Di tengah penurunan harga CPO atau minyak sawit, industri perkebunan kelapa sawit kian terancam dengan produk minyak nabati lainnya, seperti minyak biji matahari

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, meningkatnya persaingan antara minyak nabati, telah membuat terjadinya penurunan ekspor CPO dalam beberapa bulan terakhir. 

DIa menyebutkan harga CPO atau minyak nabati asal Indonesia saat ini sudah menjadi relatif lebih mahal jika dibandingkan minyak nabati lainya khususnya minyak biji matahari. 

Eddy Martono menyebutkan penurunan ekspor CPO ke China sebagai negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, ternyata disebabkan oleh kecenderungan Cina yang mulai beralih ke minyak biji matahari. 

"Minyak sawit sekarang lebih mahal, sehingga mereka (China) melakukan pembelian banyak ke minyak matahari dan mengurangi minyak sawit," kata Eddy Martono dalam Presstour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian di Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung, Selasa (27/8/2024) malam.  

Sebelumya, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan terjadinya penurunan ekspor CPO dan turunannya  ke sejumlah negara tujuan ekspor. Dia mencontohkan, ekspor CPO ke India turun 59,31 persen (mtm) dan turun 67,50 persen (YoY).

Ekspor CPO ke Cina juga merosot 49,56 persen (mtm) dan 30,04 persen (YoY). Penurunan ekspor CPO juga terjadi ke Pakistan sebesar 17,78 persen (mtm) dan 18,62 persen (YoY). 

Tidak Kompetitif

Lebih lanjut Eddy Martono menjelaskan, saat ini industri kelapa sawit banyak menghadapi kebijakan yang kurang menguntungkan. Banyaknya potongan dan pungutan, baik berupa pungutan ekspor hingga bea keluar telah membuat harga CPO dari Indonesia menjadi tidak kompetitif. 

"Saat ini industri (kelapa sawit atau CPO) harus menanggung beban hingga 138 dolar AS per metrik ton untuk berbagai pungutan mulai dari PE (pungutan ekspor), BK (bea keluar), hingga DMO (domestik market obligation," katanya. 

Bukan hanya kalah bersaing dari minyak nabati lain, harga CPO dari Indonesia saat ini juga dinilai jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga CPO dari Malaysia. 

"Saya baru ketemu dengan Indofood di Nigeria, ternyata mereka itu juga mengaku bahwa mereka membeli CPO-nya bukan dari Indonesia, karena harga (CPO) - nya yang lebih mahal. 

Untuk menghadapi ketatnya persaingan di pasar internasional, Eddy Martono berharap pemerintah bisa melakukan fleksibilitas kebijakan fiskal untuk mendorong harga minyak sawit agar leibh kompetitif. 

Dia mengingatkan, tanpa adanya perubahan kebijakan ke depan, industri kelapa sawit Indonesia bisa menghadapi tantangan yang sangat sulit ke depan. 

"Kita harus ingat bahwa CPO itu bukanlah satu-satunya sumber minyak nabati saat ini. Jika kita tidak berhati - hati, saya khawatir suatu saat nanti nasib kelapa sawit ini akan sama dengan gula, dimana dulu kita sempat menjadi produsen terbesar tetapi berubah menjadi negara eksportir," kata Eddy. 

Selain persaingan dari minyak nabati lain, Eddy juga mengingatkan ancaman yang muncul dari negara - negara Amerika Latin yang mulai intensif mengembangkan perkebunan kelapa sawit. 

"Jika nantinya sawit dari negara Amerika Latin ini bisa lebih efisien daripada kita, maka ini akan menjadi tantangan yang sangat besar," jelas Eddy Martono. (hsb)
 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
04:33
07:01
06:26
01:11
02:39
02:22
Viral