Membaca Peluang dan Tantangan Energi Surya serta Sistem Penyimpanan Energi di Indonesia..
Sumber :
  • Dok. IESR

Membaca Peluang dan Tantangan PLTS beserta Sistem Penyimpanan Energi Surya di Indonesia, Para Analis IESR Dorong Pemerintah Lakukan Percepatan

Jumat, 18 Oktober 2024 - 15:23 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Lembaga riset energi dan lingkungan, Institute for Essential Services Reform (IESR), baru saja merilis dua laporan penting terkait perkembangan energi surya dan penilaian sistem penyimpanan energi di Indonesia.

Kajian ini menunjukkan bahwa energi surya di Indonesia tumbuh lambat dibandingkan target pemerintah, tetapi peluang untuk mempercepat pengembangan sangat terbuka lebar.

Rencana pengembangan energi surya yang ambisius dan adopsi teknologi penyimpanan energi menjadi kunci penting dalam transisi energi di Indonesia.

Dalam laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025, disebutkan bahwa kapasitas energi surya terpasang di Indonesia hingga Agustus 2024 baru mencapai 718 MW.

Hal ini jauh tertinggal dari target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN

Meski demikian, pemerintah dan PLN telah merencanakan pengembangan energi surya hingga 17 GW, membuka peluang besar bagi peningkatan kapasitas terpasang dan investasi di sektor ini.

Laporan Powering the Future dari IESR juga menilai bahwa Indonesia masih berada di tahap awal dalam mengadopsi sistem penyimpanan energi (Energy Storage System atau ESS).

Pemahaman dan komitmen yang lebih baik dari para pembuat kebijakan sangat penting untuk mempercepat adopsi energi surya dan ESS di Indonesia.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menekankan bahwa Indonesia harus mencapai kapasitas PLTS sebesar 77 GW pada 2030, atau sekitar 9-15 GW per tahun antara 2024-2030, agar sesuai dengan target global untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030.

Ia menyoroti bahwa sejak 2022, penambahan kapasitas energi surya tergolong lambat dan didominasi oleh PLTS skala utilitas (208 MW), diikuti oleh PLTS atap (143 MW), dan PLTS pada lokasi captive (100 MW).

Fabby menyarankan agar pemerintah meningkatkan target energi terbarukan di 2025 dan 2030 dengan menjadikan energi surya sebagai tulang punggung transisi energi, dan mendukung investasi PLTS berbagai skala lebih cepat.

Peningkatan target bauran energi terbarukan yang ambisius perlu pula disinergikan dengan komitmen penurunan emisi yang lebih ambisius  dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC, NDC Kedua).

"Pemerintah perlu lebih ambisius dalam menambah kapasitas energi surya hingga 2030. Rencana saat ini masih jauh dari target Persetujuan Paris. Meski ada tantangan terkait intermitensi, ini bukan alasan untuk membatasi pembangunan PLTS. Banyak negara dengan penetrasi PLTS lebih dari 10% dari total kapasitas daya yang tidak mengalami gangguan keandalan listrik," ujar Fabby dalam keterangannya, Jumat (18/10/2024).

Di sisi lain, Alvin Putra Sisdwinugraha sebagai Penulis ISEO 2025 dan Analis Ketenagalistrikan serta Energi Terbarukan IESR, menyatakan bahwa tren investasi energi surya di Indonesia meningkat dua kali lipat, dari USD 68 juta pada 2021 menjadi USD 134 juta pada 2023.

Menurut Alvin, stabilitas regulasi dan ketersediaan pasar PLTS akan sangat menentukan daya tarik investasi. Proyek energi surya 17 GW yang direncanakan dapat menjadi fondasi untuk membangun strategi yang kuat di sektor ini.

"Kebijakan kuota untuk PLTS atap dan pelonggaran syarat TKDN bisa memberi dorongan besar bagi peningkatan permintaan domestik. Tapi, sinyal kuat dari pemerintah berupa insentif dan proyek yang jelas sangat dibutuhkan. Tahun 2025 akan jadi tahun penting untuk mengevaluasi efektivitas regulasi energi surya dan memastikan infrastruktur mendukung penetrasi energi surya skala besar," ujar Alvin.

IESR juga mencatat, investasi di sektor energi surya telah meningkat di rantai pasok modul surya, terutama karena adanya proyek strategis ekspor listrik energi terbarukan antara Singapura dan Indonesia.

Kapasitas produksi modul surya diperkirakan mencapai 19 GW per tahun, dengan tambahan 200.000 ton silikon surya dan 17 GW produksi sel surya.

Dalam laporan Powering the Future, IESR menekankan bahwa sistem penyimpanan energi akan sangat penting untuk transformasi sektor ketenagalistrikan Indonesia demi mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Proyeksi kapasitas energi surya dan angin yang akan mencapai 77% dari total kapasitas pembangkit terpasang pada 2060 akan memerlukan setidaknya 60,2 GW penyimpanan energi. Meski saat ini adopsi teknologi ini masih di tahap awal, diperlukan strategi yang lebih matang untuk mempercepat pengembangannya.

Penulis Powering the Future 2024, His Muhammad Bintang, menjelaskan bahwa perkembangan sistem penyimpanan energi di Indonesia masih terbatas.

Hingga kini, tidak ada sistem penyimpanan energi skala besar yang beroperasi di negara ini. Namun, proyek ekspor listrik ke Singapura bisa menjadi dorongan untuk mempercepat implementasi ESS dan BESS, dengan kapasitas penyimpanan diprediksi meningkat hingga 1.000 kali lipat pada 2030, mencapai 33,7 GWh.

IESR mengusulkan beberapa langkah untuk mempercepat penggunaan ESS di Indonesia.

Pertama, memperbaiki kerangka regulasi dan memberikan kepastian hukum bagi pengembang ESS untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kepercayaan investor.

Kedua, mengembangkan infrastruktur dan teknologi penyimpanan energi dengan proyek percontohan. Ketiga, memperbaiki aspek ekonomi proyek penyimpanan energi. Keempat, memastikan bahwa praktik penambangan untuk industri terkait dilakukan secara bertanggung jawab.

Dapat disimpulkan, Indonesia berada di jalur yang menjanjikan untuk mengadopsi energi terbarukan, terutama energi surya dan sistem penyimpanan energi. Meskipun masih banyak tantangan, dengan kebijakan yang tepat, negara ini memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi global. (rpi)

 

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
07:36
03:40
01:08
01:12
03:56
01:30
Viral