- Dok. Ombudsman
PT Sritex Bakal PHK Besar-besaran, Ombudsman RI Minta Pemerintah Indonesia Percepat Upaya Penyelamatan
Jakarta, tvOnenews.com - Ombudsman RI meminta pemerintah untuk secepatnya untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) sebagai pelayanan publik perlindungan industri tekstil dalam negeri beserta tenaga kerjanya, setelah perusahaan tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang.
Pernyataan ini disampaikan secara tegas oleh Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika saat melakukan fasilitasi bersama para pihak terkait, di antaranya Direktur Utama PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim, Direktur Bina Pengawas Ketenagakerjaan dan Penguji K3 Kementerian Ketenagakerjaan Rinaldi Umar, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan pada Selasa (12/11/2024) di Kantor PT Sritex, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Yeka menegaskan bahwa saat ini Ombudsman RI menaruh atensi khusus terhadap percepatan penanganan Sritex, sebab status pailit telah berdampak langsung pada pemblokiran oleh bea cukai sehingga tidak ada transaksi barang masuk maupun keluar.
Tidak hanya itu, hal ini berdampak pada kabar keputusan merumahkan sementara (PHK) 2.500 karyawan PT Sritex, dan jumlah ini akan terus bertambah jika izin usaha tidak segera diberikan sebagai hasil dari proses kasasi yang sedang berjalan di Mahkamah Agung.
Ditambah lagi, ketersediaan bahan baku produksi PT Sritex yang tersisa diperkirakan akan habis dalam tiga minggu ke depan, sehingga akan timbul potensi PHK besar-besaran, mengingat tidak ada lagi yang dapat dikerjakan oleh karyawan.
"Jadi, diperkirakan, PHK besar besaran akan terjadi 3 Minggu ke depan. Kami mendorong Pemerintah untuk melakukan upaya-upaya percepatan dalam penyelesaian permasalahan ini untuk mencegah terjadinya gelombang PHK besar-besaran di PT Sritex," tegas Yeka.
Ombudsman RI mengungkapkan bahwa pailitnya PT Sritex mengisyaratkan adanya potensi maladministrasi dalam pelayanan publik mengingat prosedur putusan pailit yang dinilai tidak mempertimbangkan segala aspek dan asas kepentingan umum.