- Pertamina
Cadangan Migas Menyusut, Indonesia Terancam Impor Besar-besaran, Ini Biang Keroknya
Jakarta, tvonenews.com - ReforMiner Institute menyebut ancaman krisis energi di Indonesia semakin nyata. Cadangan minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus menyusut drastis.
Mau tidak mau, Indonesia akan semakin bergantung pada impor. Jika tidak segera diatasi, Indonesia berpotensi menghadapi krisis energi yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan
ReforMiner Institute, lembaga riset independen bidang ekonomi energi, menyebutkan sektor hulu migas Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi migas di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, salah satu penyebab utama tantangan besar dalam pencapaian target produksi tersebut adalah cadangan migas nasional yang terus menyusut.
Berdasarkan data SKK Migas 2024, lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari (mbopd), jauh di bawah target APBN sebesar 660 mbopd. Untuk lifting gas bumi mencatatkan peningkatan sebesar 2,2 persen menjadi 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd) pada 2023.
Di sisi lain, data Kementerian ESDM Februari 2024 mencatat bahwa cadangan minyak hanya tersisa 4,7 miliar barel, sedangkan cadangan gas berada di angka 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Sementara itu, 60 persen wilayah kerja migas tergolong lapangan tua, yang membutuhkan teknologi mahal untuk mempertahankan produksi.
Kondisi ini, kata Komaidi, memerlukan terobosan kebijakan dan regulasi agar sektor migas tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
"Tanpa insentif signifikan, eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor," ujar Komaidi, Kamis (28/11/2024).
Dalam catatan ReforMiner, kebutuhan devisa impor migas terus meningkat, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, jauh melampaui rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022.
Proyeksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bahkan memperkirakan angka ini melonjak hingga Rp1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dimulai.
"Ketergantungan impor tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global," ujar Komaidi.
Selain tantangan tersebut, lanjut Komaidi, transisi energi global juga memberikan tekanan besar. Berdasarkan RUEN 2017, migas masih akan menyumbang 34-44 persen dalam bauran energi hingga 2050.
Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya. Pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus.
"Kita perlu memberikan insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal," kata Komaidi.
Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Komaidi mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen selama tahap eksplorasi.
Selain itu, insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi tengah dikaji. (ant/nba)