- shopee.co.id
Orang Depresi Bisa Menjadi Penulis Bahkan Psikolog? Kisah Ibu Dua Anak Penyandang Lupus
tvOnenews.com - Tubuh kita bukan sekadar mesin fisik yang beroperasi secara terisolasi. Pikiran memiliki kekuatan luar biasa untuk memengaruhi bagaimana tubuh merasakan dan merespons gejala. Wajar jika pikiran menjadikan labirin emosi yang rumit. Pada akhirnya, raga akan menjelajahi bagaimana emosi dapat membentuk persepsi pribadi tentang tubuh dan kondisi diri ini. Cut Aida Rusyiyah, namanya.
Akrab dengan sapaan Cut di kalangan teman kantornya sejak pertama kali mengabdi menjadi praktisi Human Capital di salah satu perusahaan BUMN bergengsi yang bergerak di bidang minyak dan gas Indonesia, yakni PT Pertamina Hulu Energi. Bicara soal Lupus, penting untuk tidak hanya melihatnya sebagai musuh internal, tapi juga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas diri Cut.
Semua dimulai ketika Cut Aida merasakan gejala yang secara perlahan merasuki tubuhnya, mengganggu rutinitas harian yang biasa dijalankan dengan energi dan semangat. Tetapi, demam yang tidak kunjung mereda, ruam di wajah, dan nyeri sendi yang hebat, mengubah segalanya. Wanita kelahiran Aceh ini menjalani kehidupan dengan Lupus, dan menjalankan multi peran, yaitu sebagai ibu, pekerja kantor BUMN, dan juga psikolog klinis.
Rutinitas harian anak harus dipersiapkan, tugas rutin kantor dengan rekan kerja tetap dijalankan, dan memberi perhatian penuh kepada pasien di ruangan konseling. Cut merasa bahwa dirinya harus mengelola energi dengan bijak untuk menghindari terlalu banyak tekanan dan stress yang memicu flare-up Lupus.
Saat merenungkan masa depan, rasa cemas dan kekhawatiran seorang Cut seringkali muncul. Pikiran-pikiran negatif menyelimuti pikirannya. Kepalanya penuh dan Cut merasa terjebak dalam lingkaran kekhawatiran akan keinginan yang tidak tercapai. Rasa sakit yang dirasa sudah tidak tertahankan lagi. Cut menjalani pengobatan rutin dan memutuskan untuk cuti kerja selama satu tahun.
Ini merupakan masa yang menguji ketahanan fisik dan mental seorang Cut. Namun, Ia menyadari keinginan kuatnya untuk sembuh. Di tengah semua tekanan serta ketidakpastian ini Cut belajar banyak tentang sabar, ketangguhan, dan penerimaan. Cut menerima bahwa penyembuhan memerlukan waktu dan di setiap langkah kecil menuju pemulihan adalah suatu bentuk prestasi.
Pada akhirnya, Cut mulai mencari makna dalam kegiatannya setiap hari dan menemukan hal-hal kecil yang dapat disyukuri. Satu tahun lamanya Cut mengambil cuti dan satu tahun pula Ia bergulat dengan batinnya sendiri. Banyak waktu dihabiskan di tempat tidur membuatnya nyeri sendi dan rasa lelah hebat yang menggerogoti sekujur tubuhnya.
Gangguan tidur yang melanda, nyeri sendi yang menikam tajam, otot yang terasa seperti kawat berkarat, rasa terbakar ketika air mengenai kulit yang teriritasi, dan banyak aktivitas sederhana yang saat ini membutuhkan effort luar biasa untuk menjalaninya. Rasanya hanya ingin istirahat, tapi tidur nyenyak seringkali terasa jauh dari jangkauan. Hari-hari Ia lewati dengan penuh pergolakan batin yang tak kunjung usai, hingga datang suatu momen yang mengguncang hidup Cut.
Dokter yang Ia kunjungi, sempat menyarankannya untuk memeriksakan diri ke seorang psikiater. Bukan masalah spesialis psikiaternya, bukan. Dokter ini memberi pandangan pada Cut bahwa rasa sakit yang dialaminya bisa jadi “tidak nyata”. Mendengar hal tersebut, Cut merasa sangat terpukul.
“Saya merasa diabaikan, tidak dipercaya, diragukan, dan merasa seperti diejek,” ujar Cut dengan pikiran-pikiran negatif yang memenuhi isi kepalanya.
Hingga akhirnya, Cut memutuskan untuk konsultasi dengan dokter di Amerika, yang dikenal karena pendekatan holistik-nya terhadap kesehatan dan penyakit autoimun. Bertemu dengannya, merupakan titik balik seorang Cut Aida. Dokter Amerika ini memberi pandangan bahwa Lupus bukan hanya sebagai masalah medis, namun juga sebagai hasil dari interaksi kompleks antara tubuh, pikiran, dan lingkungan.
Dokter mengajarkan pentingnya penerimaan diri dan bagaimana sikap kita terhadap diri sendiri dapat mempengaruhi kesehatan kita. Semua dapat dimulai dari berbicara dengan lembut pada diri sendiri dan memperlakukan tubuh dengan penuh kasih sayang. Cut mulai terbuka dengan berbagai pengobatan, mulai dari herbal hingga imunoterapi.
Ketika Lupus memasuki kehidupan Cut, kesehatan mental seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari keseimbangan yang harus dijaga. Overthinking yang menyelimuti tiap harinya kian membebani Cut. Sebagaimana yang Ia amati dan praktikkan dalam hidupnya, ketangguhan mental bukanlah tentang menghilangkan rasa takut atau ketidakpastian.
Sebaliknya, ini adalah tentang bagaimana kita dapat merespons dan beradaptasi terhadap perubahan dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Cut menggunakan bantuan obat psikotropika dibawah pengawasan dokter. Obat menjadi teman setia yang berhasil membantu mengurangi rasa nyeri dan membantunya dalam meraih tidur yang lelap sehingga dapat memulihkan energi yang Ia butuhkan.
Meskipun demikian, Cut selalu berusaha untuk tidak ketergantungan obat dan masih berusaha dengan bantuan dirinya sendiri. Dimulai dengan melakukan peregangan dan relaksasi untuk membantunya tidur lebih cepat. Kembali di dunia perkantoran setelah setahun lamanya mengistirahatkan diri di atas kasur, Cut kembali dengan penampilan kerja yang membuatnya tampak tidak percaya diri.
Rasanya memilukan ketika Cut pertama kali harus menggunakan kacamata hitam dan tongkat untuk membantu mobilisasinya di kantor. Bahkan ada perasaan terasingkan karena dirinya memilih untuk ditempatkan di ruangan terpisah untuk meminimalisir adanya kebisingan pemicu ketegangan dan nyeri di tubuh. Cut mulai terbiasa ketika rekan kerjanya banyak yang memberi dukungan dan tetap melibatkannya di kegiatan penting perusahaan.
Cut percaya bahwa perjalanan meraih mimpi tidak selalu mulus. Tantangan dan hambatan akan datang, dan mungkin harus menyesuaikan diri dengan keterbatasan fisik yang ada. Namun, setiap langkah kecil yang Ia ambil menuju impian adalah langkah yang bernilai. Maka, Ia pun menerima dengan ikhlas bahwa Lupus akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Genap 5 tahun Ia berjuang melawan Lupus hingga akhirnya kini Cut mampu menginspirasi banyak orang.
“Jangan pernah lupa bahwa Anda adalah pahlawan dalam kisah Anda sendiri. Anda telah mengatasi tantangan yang tidak semua orang bisa menghadapinya, dan Anda telah melakukannya dengan tekad dan keberanian,” tulisnya dalam buku keduanya yang berjudul “Bersinar Meski Berbeda : Lupus dan Kesehatan Mental” pada akhir tahun 2023 lalu.
Cut juga tetap rutin menjalankan perannya sebagai founder @psycoveid dan seorang psikolog klinis dengan membuka sesi konseling, mengisi seminar dan webinar kesehatan mental di dunia kerja hingga keluarga, menjadi narasumber dan moderator di event kantor, dan masih banyak pencapaian lainnya yang membuat keluarga hingga rekan kerja Cut bangga sebagai saksi sejarah perjalanan Cut melawan penyakitnya.
Dalam perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan, Cut Aida membagikan tips untuk terus belajar, berkembang, dan meraih hidup yang lebih bermakna. Dimulai dari memperbanyak referensi bacaan untuk pendidikan dan pengetahuan, bergabung dalam suatu komunitas dukungan kesehatan mental, memanfaatkan teknologi dan aplikasi, terlibat dalam kegiatan sosial, journaling dan refleksi, melakukan kreatifitas yang disukai, mencoba hal baru, dan mencari mentor atau pembimbing. Perjalanan belajar dan pertumbuhan adalah perjalanan seumur hidup.
Penulis Zerlynda Ali menekankan bahwa tidak peduli seberapa besar tantangan yang Anda hadapi, selalu ada peluang untuk terus berkembang. Langkah-langkah kecil dan dengan memanfaatkan sumber daya tambahan, Anda dapat meraih hidup yang bermakna serta memenuhi potensi anda yang tak terbatas.(chm)