- Unsplash.com/ Mika Baumeister
Krisis Iklim Pengaruhi Keputusan Generasi Muda Dalam Memiliki Anak
Jakarta - Sebanyak empat dari 10 anak muda di seluruh dunia ragu untuk memiliki anak akibat krisis iklim dan ragu pemerintah akan melakukan hal yang signifikan terkait bencana iklim, menurut sebuah jajak pendapat di 10 negara.
Sedangkan hampir enam dari 10 anak muda berusia 16-25 tahun sangat khawatir dengan perubahan iklim. Hal ini dimuat dalam studi ilmiah berjudul “Young People's Voices on Climate Anxiety, Government Betrayal and Moral Injury: A Global Phenomenon” yang diterbitkan pada Selasa (7/9) di laman SSRN.
Jumlah yang sama juga mengatakan bahwa pemerintah tidak melindungi mereka, planet, atau generasi mendatang. Para anak muda ini merasa dikhianati oleh pemerintah dan juga generasi yang lebih tua.
Tiga perempat orang bahkan setuju dengan pernyataan “masa depan menakutkan”. Lebih dari setengahnya merasa mereka akan memiliki kesempatan lebih kecil dari pada orang tua mereka. Selain itu, hampir setengahnya yang melaporkan bahwa dirinya merasa tertekan dan cemas tentang iklim yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, dilansir dari The Guardian, Rabu (15/9).
Jajak pendapat yang dibiayai oleh organisasi kampanye Avaaz ini diikuti oleh sekitar 10.000 anak muda dari Australia, Brasil, Finlandia, Prancis, India, Nigeria, Filipina, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat
Para aktivis iklim mengatakan kecemasan terkait krisis iklim mendominasi di kalangan anak muda saat ini. Mitzi Tan (23) asal Filipina mengatakan bahwa dirinya tumbuh dengan rasa ketakutan akan tenggelam di kamarnya sendiri.
“Lingkungan saya menganggap kecemasan yang saya alami terlalu berlebihan dan perlu diatasi dan ‘diperbaiki’ dengan meditasi,” tutur Mitzi.
Padahal menurutnya, kecemasan mengenai krisis iklim yang dialaminya berakar dari ketidakbecusan dan lambannya pemerintah dalam menangani krisis iklim.
“Untuk benar-benar mengatasi kecemasan iklim kita yang berkembang, kita membutuhkan keadilan,” imbuhnya.
Menurut Luisa Neubauer (25) seorang aktivis iklim, dewasa ini umum bagi kaum muda untuk khawatir memiliki anak. Lisa merupakan salah satu penyelenggara gerakan mogok sekolah massal di Jerman untuk memaksa pemerintah Jerman mengevaluasi kebijakan negaranya mengenai iklim.
“Saya bertemu banyak gadis muda, yang bertanya apakah masih boleh memiliki anak. Ini pertanyaan sederhana, tetapi menceritakan banyak hal tentang realitas iklim yang kita jalani. Kami kaum muda menyadari bahwa mengkhawatirkan krisis iklim saja tidak akan merubah apa-apa. Jadi kami mengubah kecemasan individu kami menjadi tindakan kolektif,” ucap Luisa.
Luisa menambahkan, kini dirinya dan banyak anak muda lainnya berjuang di jalanan, pengadilan, di dalam dan luar institusi di seluruh dunia.
Seperti diketahui pada awal bulan ini, UNICEF menemukan bahwa anak-anak dan remaja di seluruh dunia menanggung beban krisis iklim, dengan 1 miliar anak berada pada “risiko ekstrem” dari dampak kerusakan iklim.(awy/act)