- ANTARA/Shutterstock/Koto Amatsukami/am.
Atasi Osteoporosis dengan 4 Hal ini
Jakarta - Osteoporosis adalah penyakit sistemik yang memengaruhi kerangka, menyebabkan penurunan kepadatan dan massa tulang, mengakibatkan kerusakan struktur mikro tulang dan peningkatan risiko patah tulang.
Karena osteoporosis adalah penyakit yang menyerang orang tua dan penuaan populasi dunia terus meningkat, sementara kasus penyakit ini dan beban keuangan pada sistem asuransi juga meningkat, maka perlu pemahaman lebih mendalam tentang osteoporosis untuk tindakan preventif.
Berikut 4 hal yang perlu anda pahami tentang osteoporosis.
1. Epidemiologi
Menurut sebuah laporan oleh US Surgeon General, sekitar 10 juta orang Amerika di atas usia 50 tahun menderita osteoporosis, dengan 34 juta lagi berisiko terkena penyakit ini. Kejadian osteoporosis di AS sangat umum, dengan perkiraan 1,5 juta menderita patah tulang setiap tahun.
Menurut Salari N dkk (2021), prevalensi osteoporosis perempuan di dunia sekitar 23,1 berdasarkan 70 studi dengan jumlah sampel 800.457 wanita. Adapun prevalensi osteoporosis pada pria sekitar 11,7 berdasarkan 40 studi dan jumlah sampel 453.964 lelaki.
Prevalensi osteoporosis tertinggi dilaporkan di Afrika mencapai 39,5 persen dengan ukuran sampel 2989 orang di rentang usia 18-95 tahun.
2. Patofisiologi
Tulang menyediakan struktur untuk tubuh, perlindungan untuk organ, dan penyimpanan mineral, seperti kalsium dan fosfor, yang penting untuk perkembangan dan stabilitas tulang.
Individu terus membangun tulang dan akan mencapai puncak massa tulang pada usia sekitar 30 tahun, setelah itu mereka mulai kehilangan massa tulang dengan mantap.
Meskipun puncak massa tulang sangat tergantung pada genetika, banyak faktor yang dapat dimodifikasi yang memengaruhi massa tulang, seperti nutrisi, olahraga, dan penyakit dan/atau obat-obatan tertentu.
Sepanjang hidup, tulang dirombak. Maksudnya, tulang terus-menerus diserap oleh osteoklas dan diganti dengan tulang yang baru, yang dibuat oleh osteoblas. Proses ini memungkinkan untuk pemeliharaan kekuatan mekanik dan perbaikan.
Ketidakseimbangan dalam aktivitas remodeling di mana resorpsi melebihi pembentukan dapat mengakibatkan perubahan patofisiologis yang terlihat pada osteoporosis.
Secara sederhana, penyebab osteoporosis utama adalah ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi selama proses rekonstruksi tulang, di mana kecepatan penyerapan tulang lebih besar daripada pembentukan tulang, yang menyebabkan peningkatan pergantian tulang.
Gangguan homing, gangguan kemampuan diferensiasi osteogenik, dan penuaan sel punca mesenkim (MSC) adalah patogenesis (proses perjalanan) penting dari osteoporosis. Lingkungan mikro yang tidak seimbang dan pengaturan imun yang tidak teratur juga memiliki dampak utama pada terjadinya dan berkembangnya osteoporosis.
Hormon dan faktor pertumbuhan juga berperan dalam mengatur fungsi tulang. Estrogen dan testosteron memiliki efek signifikan pada remodeling tulang terutama menghambat kerusakan tulang. Sitokin yang mempengaruhi remodeling juga telah diidentifikasi, seperti aktivator reseptor ligan faktor nuklir kappa-B (RANKL).
RANKL diproduksi oleh osteoblas yang berikatan dengan reseptor RANK pada osteoklas, yang mengarah pada aktivasi dan pematangan osteoklas dan berpuncak pada resorpsi tulang.
Terjadi ketidakseimbangan microenvironment beragam faktor coupling, termasuk bone morphogenetic proteins (BMP), transforming growth factor beta (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), insulin-like growth factor (IGF), dan platelet-derived growth factor (PDGF), juga terlibat dalam proses terjadinya osteoporosis.
Kemajuan terbaru dalam biologi tulang molekuler telah mengidentifikasi protease kuat bernama cathepsin K (CatK). CatK disekresikan oleh osteoklas yang teraktivasi selama proses resorpsi tulang, mengakibatkan degradasi matriks tulang dan pemecahan komponen mineral jaringan tulang.
Hormon paratiroid (PTH) berperan penting dalam pembentukan tulang dengan secara tidak langsung meningkatkan proliferasi osteoblas melalui pengaturan homeostasis kalsium (Tu KN, dkk, 2018).
3. Imunoporosis
Srivastava RK dkk (2018) mengemukakan istilah “imunoporosis” alias imunologi osteoporosis dengan penekanan khusus pada peran berbagai subset limfosit T (sel Th terdiri dari Th1, Th2, Th9, Th17, Th22, sel T pengatur, sel T pembantu folikel, sel T natural killer, sel T , dan sel T CD8+). Sel T helper (Th) bersama dengan berbagai sel imun lainnya merupakan pemain utama yang terlibat dalam homeostasis tulang.
Beragam peran baru limfosit sel T dalam akselerasi keropos tulang telah diamati para ahli selama proses osteoporosis terjadi. Sel T diaktifkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sekresi berbagai sitokin dan faktor modulasi tulang untuk mengatur remodeling tulang.
Solusi
Pengobatan utama osteoporosis bertujuan menstimulasi osteogenesis atau menghambat resorpsi tulang melalui agen berbasis obat. Bifosfonat, obat lini pertama yang dominan untuk mengobati osteoporosis, menurunkan resorpsi tulang dengan mempromosikan apoptosis osteoklas.
Obat anti-resorpsi alternatif termasuk denosumab dan kalsitonin. Estrogen dan raloxifene telah diterapkan dalam terapi hormon untuk memperlambat proses kerusakan tulang dan mengurangi risiko patah tulang pada wanita pascamenopause.
Terapi yang bertujuan untuk memerkuat pembentukan tulang, yakni terapi anabolic. Misalnya, abaloparatide dan teriparatide. Sejak tahun 2010, telah tersedia inhibitor sclerostin, yang dianggap sebagai agen anabolik, yakni Romosozumab.
Sclerostin adalah protein yang membantu mengatur metabolisme tulang. Diproduksi oleh osteosit (sel tulang), menghambat pembentukan tulang (membuat tulang baru). Romosozumab mengikat sclerostin, yang mencegahnya menghalangi jalur sinyal untuk pembentukan tulang baru. Hasilnya berupa peningkatan tulang baru. Pada tingkat yang lebih rendah, kondisi itu juga menurunkan resorpsi (penguraian) tulang.
Menurut Arjmand B, dkk (2020), beberapa pendekatan farmakologis ternyata memiliki efek positif sekaligus efek samping sebagai limitasi mereka. Misalnya, bisfosfonat dapat menurunkan risiko patah tulang panggul dan tulang belakang melalui pemeliharaan densitas mineral tulang.
Di sisi lain, bisfosfonat memiliki efek samping berupa timbulnya osteonekrosis rahang, ketidaknyamanan gastrointestinal dan ginjal, patah tulang paha tidak khas (fraktur femur atipikal), atau penyakit seperti influenza akut.
Teriparatide sebagai hormon paratiroid rekombinan untuk menstimulasi osteoblas dalam merekonstruksi tulang yang keropos, dapat meningkatkan kepadatan mineral tulang dan arsitektur tulang, berpotensi mengurangi risiko patah tulang belakang, non-vertebra, dan pinggul.
Meskipun demikian, teriparatide memiliki beberapa efek samping, di antaranya munculnya peradangan hidung, diare, konstipasi (sembelit), nyeri persendian. Pendekatan farmakologis lain adalah terapi sulih hormon (hormone replacement therapy, HRT) yang merupakan pendekatan yang aman dan menguntungkan untuk mencegah patah tulang belakang dan non-vertebra.
Efek samping HRT berupa ketidaknyamanan pada sistem kardiovaskuler, tromboembolik, kantung empedu, potensi munculnya kanker payudara serta kanker endometrium.
Sementara modulator reseptor estrogen selektif (MRES) memiliki beberapa efek positif. Pertama, dapat menjadi pilihan yang baik untuk mencegah jumlah komplikasi terkait terapi penggantian hormon.
Kedua, dapat meningkatkan massa tulang dan mengurangi risiko patah tulang. MRES memiliki beberapa keterbatasan dalam mencegah patah tulang non-vertebra dan juga memiliki efek samping ekstra-skeletal.
Nonfarmakologis
Beberapa pendekatan nonfarmakologis juga memiliki manfaat dan mudarat, misalnya latihan fisik atau berolahraga. Manfaat berolahraga menyebabkan pengurangan pengeroposan tulang, melestarikan sisa jaringan tulang, mengurangi risiko patah tulang akibat jatuh.
Ironisnya, beberapa jenis latihan fisik seperti sit-up perut atau fleksi tulang belakang ke depan dapat meningkatkan risiko patah tulang (fraktur) jenis kompresi di tulang belakang.
Pendekatan lain berupa terapi dengan menyuntikkan "semen tulang" (berupa hidroksiapatit) ke tulang belakang yang patah atau retak bertujuan untuk memerbaikinya. Prosedur medis ini dinamakan vertebroplasti. Vertebroplasti dapat meredakan gejala yang berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra.
Keterbatasan vertebroplasti antara lain: dapat menyebabkan emboli (penyumbatan pembuluh darah oleh benda/zat asing) di organ paru-paru, infeksi, serta cedera sumsum tulang belakang atau cedera akar persarafan.
Tindakan lain yang mirip vertebroplasti, yakni kifoplasti (injeksi hidroksiapatit menggunakan balon khusus untuk memberi ruang di tulang belakang yang kolaps karena fraktur kompresi). Kifoplasti dapat meredakan gejala yang berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra. Kelemahannya: berpotensi terjadi kebocoran semen, menyebabkan infeksi, pecahnya balon.
Pendekatan berbasis kedokteran tradisional China, seperti rhizoma drynariae dan icariin, telah terbukti mempertahankan densitas mineral tulang (BMD) pada osteoporosis.
Selain itu, pengobatan nonfarmakologis seperti asupan vitamin D dan kalsium juga telah digunakan. Meskipun demikian, Jiang Y dkk (2021) berpendapat bahwa pengobatan berbasis obat memiliki dua limitasi nyata. Pertama, tidak dapat membalikkan keropos tulang yang sedang berlangsung. Kedua, selalu menyebabkan efek samping yang serius, termasuk osteonekrosis rahang, kanker, risiko kejadian tromboemboli, dan stroke.
4. Sel punca dan nanopartikel
Menurut Kangari P, dkk (2020), tatalaksana osteoporosis saat ini pada prinsipnya menggunakan agen berbasis obat yang biasanya merangsang apoptosis pada osteoklas dan mencegah resorpsi tulang.
Selama dekade terakhir, terapi sel induk, sebagai teknologi baru, dikembangkan secara luas untuk regenerasi tulang pada pasien dengan osteoporosis. Sel punca mesenkim (MSC) adalah jenis sel induk yang paling banyak digunakan untuk osteoporosis.
Studi pada model hewan telah mengungkapkan bahwa baik transplantasi sumsum tulang berbasis sel punca mesenkim (BM-MSC) alogenik dan autologus dapat diterapkan untuk pengobatan osteoporosis.
Terapi BM-MSC alogenik pada osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid pada model tikus menunjukkan osteoblastogenesis dan mendorong pembentukan tulang.
Dalam uji klinis pada kasus patah tulang baru, nyeri berkurang terlihat pada pasien dengan osteoporosis setelah pemberian infus autologus intravena BM-MSC dengan fukosilasi. MSC dari jaringan perinatal seperti tali pusat manusia, darah tali pusat manusia, amnion, dan korion, telah menarik perhatian khusus untuk perbaikan osteoporosis dan mencegah keropos tulang.
Pendekatan nanoteknologi dengan menggunakan nanopartikel, seperti liposomes, PLGA-nanoparticles, mesoporous silica nanoparticles, metal-nanoparticles, dan hydroxyapatite nanoparticles ternyata juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Osteoporosis memang perlu diatasi secara bijaksana, sesuai indikasi, dan paripurna. Memang diperlukan seni tersendiri untuk memahami osteoporosis agar tidak menjadi semakin krisis.
(Dokter Dito Anurogo MSc, dosen tetap di FKIK Unismuh Makassar, sedang menjalani pendidikan S3 di IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan). (ant/mii)