Lima Makanan Tradisional di Yogyakarta. (dok. IG Dinas Kebudayaan Kota Yogya).
Sumber :
  • Tim tvOne - Nuryanto

Ini Keunikan Lima Makanan Tradisional di Yogyakarta yang Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Sabtu, 27 Mei 2023 - 15:22 WIB

Yogyakarta, tvOnenews.com - Lima makanan tradisional ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dari Kota Yogyakarta. 

Penetapan ini mampu memberikan perlindungan hukum dan perhatian yang layak bagi warisan yang tak ternilai ini.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti mengungkapkan ada lima warisan budaya tak benda yang diakui diantaranya Jadah Manten, Legomoro, Sangga Buwana, Kembang Waru dan Yangko Yogyakarta.

Kelima warisan budaya tak benda tersebut masuk ke dalam domain kemahiran dan kerajinan tradisional. 

“Kota Yogyakarta menerima lima sertifikat yang kebetulan semuanya adalah makanan. Dengan ditetapkan kelima itu, berarti bagaimana proses pelestarian itu harus berjalan. Jadi, tidak hanya berhenti di penetapan saja,” ujarnya.

Yetti menyebutkan, penetapan warisan budaya tak benda akan membawa manfaat bagi banyak pihak. Tidak hanya sebagai penikmat saja namun, akan menjadi manfaat untuk pelaku usaha tersebut yaitu masyarakat Yogya itu sendiri.

Berikut kelima makanan tradisional khas Yogyakarta yang masuk dalam WBTb tahun 2023.

1. Jadah Manten



Jadah Manten adalah kue tradisional Yogyakarta yang terbuat dari ketan, santan, dan daging, bisa ayam ataupun sapi, sebagai isian, lalu dibungkus dengan telur dadar. Dikutip dari wikipedia, makanan ini sekilas mirip kue lemper dengan perbedaan cara pembuatan dan kulit pembungkusnya. Kue ini umumnya berbentuk balok dengan ukuran tertentu, misalnya panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan tinggi 3 cm.

Kue ini dianggap istimewa karena dulu hanya pihak Keraton Yogyakarta dan kerabat yang menyantap kudapan ini. Resepnya pun dulu dianggap rahasia dapur keraton. Kudapan ini sangat disukai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Kue ini disebut jadah manten karena menjadi salah satu bagian dari seserahan pengantin pria yang diberikan ke pengantin wanita. Kue ini mengandung filosofis agar sepasang pengantin tersebut lengket seperti jadah yang memang mudah menempel di tangan.

Cara membuat jadah manten terdiri atas tiga tahapan. Yang pertama, ketan dimasak dengan daun pandan. Setelah matang maka ketan tersebut dikukus setelah diuleni dengan santan dan garam. Selanjutnya, ketan kukus itu diisi dengan daging ayam atau sapi lalu dibungkus dengan telur dadar dan dijepit dengan bilah bambu. Kue ini lalu dibakar atau dioven.

Dulu hanya pihak keraton yang bisa menyantapnya, tapi kemudian semua orang bisa menyantapnya. Namun, kue ini relatif jarang dijumpai. Biasanya hanya ada di even atau tempat tertentu seperti pasar Ramadan Kauman dan kampung Ramadan Jogokariyan.

2. Legomoro



Kotagede tidak hanya terkenal dengan kawasan heritagenya, namun juga terkenal juga dengan kuliner tradisional yang penuh dengan filosofinya. Selain kipo dan kue kembang waru, ada satu lagi makanan khas Kotagede yaitu legomoro.

Dikutip dari gudeg.net, legomoro serupa dengan lemper, yaitu makanan yang berasal dari ketan dengan isian daging ayam yang dibungkus dengan daun pisang. Yang menjadi pembedanya adalah cara membungkusnya, kalau lemper biasanya menggunakan daun pisang dan lidi di sisi kanan dan kiri sedangkan Legomoro menggunakan daun pisang yang diikat dengan tali bambu. Cara mengikatnya pun juga ada unik, ada yang menggunakan dua tali dan tiga tali.

Makanan yang satu ini bisa kita jumpai pada perhelatan pernikahan, biasanya dipergunakan sebagai hantaran dari pihak laki-laki untuk pihak perempuan. “Lego” yang berarti lega dan “Moro” yang berarti datang,  sehingga bermakna hati yang lega karena sudah datang ke mempelai perempuan. Datang dengan ikhlas dan yang menerimapun dengan ikhlas pula.

Di Kotagede sendiri yang membuat legomoro bisa dihitung dengan jari, sekitar 2-3 orang pembuat legomoro. Salah satunya adalah Ibu Sarjimah, pembuat legomoro yang beralamatkan di  Selokraman 1052/KGIII, RT.49/11 Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.

Perempuan paruh baya ini, sudah membuat legomoro sejak tahun 70an. Legomoro yang dibuatnya berbeda dengan yang lainnya, tali bambu yang dipergunakan ada tiga sedangkan di tempat lain hanya menggunakan dua tali bambu, isian ayamnya pun terhitung lebih banyak dari yang legomoro yang lainnya. Sarjimah hanya membuat legomoro apabila ada pesanan.

“karena membuat legomoro  ini lebih lama, perbandingannya satu legomoro sudah bisa jadi 3 lemper,” tuturnya.

3. Songgo Buwono



Songgo Buwono adalah makanan tradisional khas Kota Yogyakarta. Songgo berarti menyangga, buwono artinya langit atau kehidupan. Jadi, songgo buwono memiliki makna penyangga kehidupan.

Dikutip dari setneg.go.id, kudapan ini menjadi spesial karena songgo buwono termasuk makanan kelas atas. Mengapa? Karena makanan pembuka ini lahir di Keraton Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono VIII-lah yang menginspirasi pembuatan makanan ini sehingga, makanan ini dapat juga disebut sebagai makanan priyayi. Pada zaman Kesultanan Yogyakarta dahulu, kue ini disajikan pada hajat tertentu, misalnya perayaan pernikahan keraton.

Tidak hanya itu, makanan ini pun memiliki banyak filosofi yang menggambarkan kehidupan manusia. Diyakini pula, sajian songgo buwono dalam pesta pernikahan menggambarkan kesiapan kedua mempelai untuk mengarungi kehidupan secara mandiri.

Di dalam komponen makanan ini terdapat simbol dan makna. Pada bagian terbawah songgo buwono terdapat daun selada. Daun selada menggambarkan hamparan pepohonan dan tumbuhan hijau yang asri dan lestari.

Di atas selada terdapat kue soes yang menyiratkan bentuk bumi, di mana semua makhluk hidup lahir dan mati. Isian di dalam kue soes adalah ragut. Ragut adalah campuran dari daging, wortel, bawang bombay, dan bumbu-bumbu penyedap yang menceritakan tentang keberagaman masyarakat di dunia yang mampu berpadu dalam sebuah keselarasan.

Setelah ragut yang menceritakan keselarasan masyarakat, terdapat simbol pegunungan yang dilukiskan oleh telur ayam, dan mayonaise yang menyiratkan langit. Terakhir, sebagai pendukung, songgo buwono memiliki simbol bintang dari acar.

Dikutip dari akun instagram @kuliner_priyayi, songgo buwono konon juga menjadi penunjuk keadaan politik masa itu di Yogyakarta. Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII kondisi kesultanan di Yogyakarta sedikit banyak dipengaruhi oleh keberadaan Belanda. Oleh sebab itu, kuliner yang disajikan pun tentu bernuansa western atau cenderung kebarat-baratan. Songgo Buwono sebagai salah satu menu yang diinisiasi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pun menjadi menu hasil akulturasi budaya Jawa dan Barat.

Apabila diamati lebih dalam lagi, rupanya songgo buwono tidak hanya hasil akulturasi dari gaya Jawa dan Belanda, namun ada beberapa style dari negara-negara lain. Misalnya, kue soes sendiri yang berasal dari Belanda, saus mayonais dari Perancis, serta acar ala Tiongkok juga turut menghias makanan kecil ini.

4. Kembang Waru



Roti Kembang Waru merupakan salah satu kuliner warisan kerajaan Mataram Islam. Roti ini memiliki bentuk yang cukup unik. Bulat serta memiliki delapan sisi di pinggiranya. Kedelapan sisi tersebut bukan tanpa alasan. Roti sejenis kue yang berbentuk unik ini mengandung filosofi cukup mendalam terkait pinggiran sisinya yang berjumlah delapan.

Dikutip budaya.jogjaprov.go.id, ada masa Kerajaan Mataram Islam, roti kembang waru ini selalu menjadi hidangan favorit yang selalu ada dalam setiap hajatan ataupun acara adat pada masa itu. Tidak diketahui persis siapa penemu dari jajanan khas yang saat ini cukup popular di wilayah Kotagede.

Dahulu pasar Legi Kotagede sebelum dipenuhi kios-kios seperti saat ini itu ditumbuhi pohon-pohon lebat yang cukup rindang seperti pohon beringin dan pohon gayam.

Pada masa Mataram Islam pusat pemerintahan atau ibu kotanya terletak di wilayah Kotagede ini dan terkenal dengan pohon Gayam yang tumbuh subur di sepanjang jalannya. Nah, di antara pohon-pohon gayam yang tumbuh terdapat pohon waru yang tumbuh subur dengan bunganya yang berwarna cokelat kemerahan.

Kemudian dibuatlah roti yang berbentuk bunga tersebut karena bunga waru lebih mudah dibuat dibandingkan bunga kenanga ataupun bunga mawar.

Alat untuk membuat roti ini membutuhkan cetakan yang terbuat dari besi. Sehingga ukuran dan bentuk dari roti ini ukurannya sama semua. Delapan sisi yang dimiliki roti ini bermakna delapan laku seorang pemimpin.

Delapan laku yang dimaksud merupakan personifikasi dari delapan elemen unsur alam yakni tanah, air, angin, api, matahari, bulan, bintang dan langit. Jika seorang pemimpin dapat menerapkan 8 laku tersebut, maka akan menjadi pemimpin yang berwibawa dan mampu mengayomi semua rakyatnya.

 

5. Yangko Yogya



Yangko adalah makan dari adonan dari tepung ketan yang dibalut tepung gula dengan rasa manis dan khas karena ada unsur gurihnya. Yangko biasa berbentuk kotak dan di dalamnya telah diisi oleh isi kue berupa kacang yang dapat menambah kenikmatan menyantap yangko.

Dikutip dari laman jogja.jogjaprov.go.id, dalam perkembangannya, makanan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lebih menarik pengunjung hingga dikenal sebagai salah satu kekayaan kuliner khas yang biasa dimanfaatkan sebagai oleh-oleh bagi para wisatawan.

Yangko Jogja memiliki rasa kental manis dan merupakan makanan khas dari Kotagede. Sebuah kawasan di Kota Jogja yang terkenal dengan kerajinan peraknya. Dulu, Kotagede adalah ibu kota Kerajaan Mataram Islam, sebuah kerajaan besar yang menjadi cikal bakal Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Di kota inilah sejarah yangko bermula di mana dahulu kala makanan ini dikenal sebagai makanan raja-raja atau priyayi. Tidak semua rakyat biasa bisa menikmatinya karena harus mengeluarkan uang yang cukup besar. Bahkan yangko ini dipercaya juga sebagai makanan yang dibawa Pangeran Diponegoro saat bergerilya karena yangko dapat bertahan cukup lama dan tidak basi.

Nama yangko diyakini berasal dari kata kiyangko. Dalam pelafalan lidah orang Jawa, kata kiyangko diucapkan dengan singkat menjadi yangko. Meskipun tidak banyak seperti saat dahulu, penjual Yangko saat ini juga telah banyak tersedia di Jogja.

Salah satu yang terkenal adalah yangko Pak prapto. Sejarah tersebut dimulai karena konon, orang yang pertama kali mengenalkan yangko adalah Mbah Ireng yang tidak lain adalah kakek buyut Suprapto. Meski Mbah Ireng sudah berinovasi membuat yangko sejak tahun 1921, namun yangko baru mulai dikenal luas oleh masyarakat pada sekitar tahun 1939.

Seiring perkembangan jamannya, yangko yang saat ini juga dijual sebagai oleh-oleh banyak ditemui di berbagai toko oleh-oleh di Jogja. Harganya juga cukup bervariasi antara Rp8000 sampai Rp10.000 jika pembeli membeli langsung ke pembuatnya. Harga juga akan berbeda jika membeli ke tempat wisata yang tentu saja sedikit lebih mahal. Yangko dapat menjadi salah satu alternatif oleh-oleh ketika Anda berkunjung ke Jogja.

Kelima sertifikat warisan budaya tak benda ini diserahkan kepada Pejabat Walikota Yogyakarta, Singgih Raharjo pada acara Perayaan Warisan Budaya Tak Benda Tahun 2023 di Gedhong Pracimasana Kepatihan, Selasa (23/5/2023). (Nur/Dan)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
04:33
07:01
06:26
01:11
02:39
02:22
Viral