- YouTube UyaKuya
Para Terpidana Kasus Vina Cirebon dihajar dan Disiksa, Eks Kabareskrim Blak-blakan Berani Bilang Polisi Melakukan itu...
tvOnenews.com - Eks Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi, berbicara blak-blakan soal misteri buronan dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan Vina Cirebon.
Dalam pernyataannya, dia juga menjelaskan proses penanganan hukum oleh kepolisian yang telah berlangsung selama delapan tahun.
Uya Kuya menyampaikan bahwa para terpidana yang telah bebas banyak memberikan keterangan jika mereka pernah disiksa dengan berbagai macam bentuk siksaan oleh polisi.
Bukan tanpa alasan, hal itu dilakukan agar mereka mengakui perbuatannya dalam kasus Vina Cirebon.
Setelah serangkaian penyelidikan intensif, polisi berhasil menangkap 8 dari 11 pelaku. Kedelapan pelaku ini telah diadili dan dijatuhi hukuman.
Mereka adalah Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, Rivaldi Aditya Wardana, dan Saka Tatal.
Sebanyak 7 dari 8 pelaku dewasa divonis penjara seumur hidup. Sedangkan satu tersangka yang saat kejadian masih di bawah umur, divonis 8 tahun penjara.
Kemudian, setelah menjadi buronan selama delapan tahun, pada Selasa (21/5/2024) lalu, polisi berhasil menangkap satu tersangka dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus pembunuhan Vina Cirebon.
DPO tersebut bernama Pegi Setiawan alias Perong. Pada 26 Mei 2024, Polisi merilis Pegi alias Perong sebagai otak utama di balik kasus ini dan dua DPO lainnya dibatalkan.
Namun, Pegi Setiawan bersikeras bahwa dia bukan dalang dari pembunuhan Vina dan tidak terlibat sama sekali.
Melalui kanal YouTube UyaKuya TV, Jumat (19/7), berikut penjelasan Eks Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi, mengenai proses penyidikan kasus Vina Cirebon serta tanggapannya terhadap isu penyiksaan para terpidana oleh polisi.
"Ada yang dipukul, pakai kursi tangannya, dan segala macam. Akhirnya mengaku karena tidak kuat. Sebenarnya hal-hal seperti ini tuh Propam bisa menindak gak sih kalau emang terjadi seperti ini?" tanya Uya Kuya kepada Komjen (Purn) Ito Sumardi.
"Makanya kan saya dengar ada 16 orang yang ditindak. Iya 16 orang, ada yang dari lalu lintas, ada yang sedemikian cepat untuk menyimpulkan itu kasus tabrak lari," ungkapnya.
"Ada yang memang betul-betul melakukan tindakan kekerasan tapi tidak seperti yang disampaikan menurut pengakuan. Kita kan gak tahu. Orang itu bisa saja mengaku benar, tapi tidak seluruhnya itu dengan drastis gitu ya," jelasnya kepada Uya Kuya.
"Tapi kalau keyakinan saya, ya kayaknya sih pengalaman saya ada lah ya. Tetapi itu dalam batas-batas yang istilahnya tidak sampai membuat orang meninggal," tambahnya.
"Nah kemudian yang kedua Pak ya, di dalam hukum pidana kita, kita tidak mengejar pengakuan. Ada alat bukti lain yang digunakan untuk meyakinkan jaksa penuntut umum, untuk meyakinkan hakim bahwa memang betul terjadi masalah itu," sambungnya.
"Keterangan terdakwa ini biasanya subjektif, makanya di dunia diciptakan alat yang namanya Lie Detector," ujarnya.
Sebelumnya, pihak kuasa hukum Pegi Setiawan mengajukan gugatan praperadilan untuk mendapatkan kepastian hukum.
Pegi Setiawan menjadi korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Vina. Hingga akhirnya keluar putusan yang mengabulkan permohonan praperadilan Pegi Setiawan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan bahwa penetapan tersangka Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina tidak sah.
Hal itu disampaikan oleh Hakim tunggal Eman Sulaeman dalam sidang putusan praperadilan yang dilaksanakan pada Senin (8/7/2024).
"Mengadili, mengabulkan praperadilan pemohon untuk seluruhnya. Menetapkan penetapan tersangka kepada pemohon atas nama Pegi Setiawan beserta surat lainnya dinyatakan tidak sah dan batal secara hukum," kata Eman Sulaeman saat membacakan surat putusannya di PN Bandung, Senin (8/7/2024) lalu.
Berdasarkan putusan tersebut, hakim meminta Polda Jabar untuk segera membebaskan Pegi Setiawan dari tahanan.
Mantan Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Ito Sumardi, menyatakan bahwa tiga DPO yang diumumkan oleh polisi sebelumnya itu berdasarkan amar putusan Hakim.
"Sehingga penyidik yang sudah diperiksa itu ditanya, kenapa kamu tidak bisa menggambarkan minimal sketsa wajah itu, tapi yang ngomong kan dia, dan di dalam ilmu kriminologi, seseorang yang bersalah tidak ada yang mengakui kesalahannya," tutur Ito Sumardi sebagaimana dilihat di YouTube Uya Kuya TV.
"Kalau bisa dilempar ke orang lain, apakah orang lain itu ada, dia akan lempar supaya dia mengurangi, 'Pak pelaku utamanya dia, saya cuma ikut-ikutan,' sehingga polisi di sana waktu diperiksa, kok kamu bikin DPO hanya cuma ciri-ciri tapi kamu tak bisa membuat sketsa?" lanjutnya.
Alasannya adalah karena orang yang memberikan informasi DPO itu pada akhirnya mencabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan).
"Andai kata ternyata Pegi Setiawan di praperadilan tidak bersalah, artinya polisi yang kemarin menangkap ini bagaimana?" tanya Uya Kuya.
"Pasti kena, jangan lupa kita itu ada Perkap (Peraturan Kapolri) tentang kode etik. Jadi seorang penyidik itu harus betul-betul hati-hati cermat, menangani satu kasus," terang Ito Sumardi.
"Kalau tidak, selesai dia, bubar, mungkin taruh di Sabhara atau mungkin taruh di Papua, jadi dia tidak fungsi Reserse lagi," tambahnya.
Lebih lanjut, Eks Kabareskrim pengganti Komjen Pol Susno Duadji itu mengatakan bahwa langkah yang diambil Kapolda Jabar saat itu, Bambang Waskito, sudah benar.
"Bambang Waskito, itu menganggap bahwa kasus ini akan ada conflict of interest karena menyangkut anak kandungnya Iptu Rudiana, makanya ditarik ke Polda (kasusnya)," tuturnya.
"Ini kan suatu langkah yang sudah benar, sehingga Iptu Rudiana tidak bisa mengintervensi proses penyidikan," papar Ito Sumardi.
Masalahnya adalah selama delapan tahun, tidak ada upaya untuk menangkap 3 DPO kasus Vina. Hal ini menjadi kritik bagi institusi Polri.
Mantan Kabareskrim itu mengakui kesalahan yang dilakukan oleh penyidik saat itu, sehingga kasus ini sampai 'mandek'.
"Ini salah, tapi mohon bisa dimaklumi lah kalau namanya penyidiknya itu setelah dia menangani itu sudah bisa ke Pengadilan, 'ah ini tiga DPO, kita harus menyelesaikan kasus-kasus yang numpuk nih," terangnya. "Saya kira ini tidak terjadi di Indonesia saja, kalau lihat di film-film kan banyak tuh namanya kasus-kasus terpaksa ditinggalkan, harus menangani kasus lain," pungkasnya.
Kemudian, Uya Kuya bertanya soal dua DPO yang dihilangkan oleh polisi, yaitu Andi dan Dani, yang dianggap tidak ada atau fiktif.
Sementara ada juga surat DPO yang keluar pada saat itu (kejadian) tanggal 15 September, ada nama Panji dan Andika.
Di mana sampai sekarang tidak disebut-sebut. "Kira-kira orangnya ada atau tidak? Kok sampai tidak disebut lagi sekarang?" tanya Uya Kuya.
"Yang bisa menjawab itu tentunya penyidik (saat itu), tentunya ini juga menjadi pendalaman dari Mabes Polri, jadi dalam kasus itu tidak boleh ada istilahnya diskriminasi, semua harus tuntas," terangnya.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan, Komjen Pol (Purn) Ito Sumardi, meyakini bahwa kasus ini pasti akan terungkap dan menemui titik terang.
"Itu pasti akan diungkap karena Pak Kapolri bilang, kalau sudah lengkap, maka akan disampaikan kepada publik," tuturnya.
"Supaya publik tidak bertanya-tanya, supaya publik tidak menggunakan asumsi-asumsi liar yang membuat masalah ini menjadi semakin tidak karuan," pungkasnya. (udn)
Baca berita terkini dan lebih lengkap, klik google news tvOnenews.com
Ikuti juga sosial media kami;
twitter @tvOnenewsdotcom
facebook Redaksi TvOnenews