- Tim tvOne - Sonik Jatmiko
Melihat Jejak Akulturasi Tionghoa-Jawa di Kelenteng Boen Tek Bio Banyumas
Banyumas, Jawa Tengah - Kamis (27/1/2022) siang, suasana Kelenteng Boen Tek Bio penuh kesibukan. Sejumlah orang, yang sebagian besar adalah penganut Konghucu, sibuk membersihkan semua sudut kelenteng di Jalan Sudagaran, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah itu.
Bersih kelenteng dan jamasan adalah tradisi penting menjelang imlek. Didahului dengan sembahyang mengantar dewa naik ke kahyangan, malam sebelumnya.
"Hari ini adalah jamasan patung dewa dan pusaka. Malam sebelumnya, kita lakukan sembahyang mengantar dewa naik ke kahyangan," ujar Sobita Nanda, Humas Kelenteng Boen Tek Bio.
Jamasan atau mensucikan patung dewa dan pusaka yang ada di altar dilakukan dengan air kembang. Pembersihan juga dalam arti sebenarnya yakni tiap sudut patung dan pusaka digosok dengan sikat agar bersih dari kotoran, termasuk debu yang menempel.
Ada yang unik di kelenteng ini, yakni ada sosok yang disebut Mbah Kuntjung. Seperti dewa lain, patungnya juga ada di altar dengan latar tiga bilah keris. Keberadaan Mbah Kuntjung di kelenteng ini telah ada sejak 1996.
"Ya, di sini memang ada sosok yang kita anggap suci yaitu Mbah Kuntjung. Ada altar dan tiga keris dengan pamor berbeda," ujar Sobita.
Mbah Kuntjung adalah sosok Ki Semar dalam budaya Jawa. Mereka penganut Konghucu di Banyumas, ada yang berkeyakinan bahwa Mbah Kuntjung adalah sosok para suci.
Menempatkan sosok Ki Semar sebagai yang diyakini, adalah bentuk pengakuan eksistensi akar budaya Jawa oleh para penganut Konghucu. Moyang mereka yang menjejak di bumi Nusantara mewarisi rasa hormat ini kepada generasi Konghucu masa kini.
Tak hanya sosok Mbah Kuntjung, bentuk salah satu bangunan kelenteng makin mempertegas proses perkawinan dengan budaya Jawa.
"Kalau bagian gebang, bangunannya khas Kelenteng Konghucu. Tapi begitu masuk, ada satu bangunan pendopo berbentuk joglo," ujar Sobita.
Bangunan besar yang berada di bagian depan kompleks kelenteng ini bukan tak disengaja. Jika dilihat dan dibandingkan dengan bangunan lain, ukurannya sama.
Bagian atap pendopo khas joglo Jawa. Beda dengan khas bangunan khas kelenteng yang bagian genteng ujung bubungan ada ornamen naga. Warna joglo juga tidak dominan merah, seperi warna bangunan lain di komplek kelenteng.
Proses akulturasi budaya ini, ujar Sobita, menunjukan bahwa penganut Konghucu sangat terbuka. Mulai dari sosok Mbah Kuntjung, hingga bentuk bangunan adalah wujud nyatanya.(Sonik Jatmiko/Buz)