- Tim tvOne - Teguh Joko Sutrisno
Mengenal Warak, Binatang Rekaan yang Hadir Jelang Ramadhan di Semarang
"Kemudian ngeden, ya badan, ekor, leher, kaki itu kaku, bulunya juga kaku menghadap ke atas yang melambangkan menahan sikap waktu bulan puasa. Terus ada ngendog atau bertelur di bawahnya, yang artinya semua ibadah itu akan menghasilkan yang baik," jelasnya.
Warak dibuat dalam beberapa ukuran. Untuk yang kecil dipakai untuk mainan anak-anak. Sedang yang besar untuk keperluan karnaval.
Warak-warak mainan ini sangat disukai anak-anak. Makanya para perajin membuatnya lebih banyak.
"Terutama pesanan dari pedagang yang menggelar lapak di pasar malam dugderan sebelum masuknya bulan Ramadhan. Sebagian lainnya adalah pesanan dari beberapa sekolah dan instansi yang akan mengikuti arak-arakan dan pawai menjelang Ramadhan. Tapi tahun ini kita belum tahu apakah karnaval diadakan," ungkapnya.
Dalam versi yang lain menurut berbagai literatur, warak punya kepala berbentuk naga. Ini juga merupakan sebuah akulturasi budaya. Sebab di Semarang pada perkembangan selanjutnya juga hidup masyarakat etnis Tionghoa. Sebagian dari mereka juga muslim. Maka warak pun menjadi simbol perpaduan tiga budaya. Yaitu Arab, Jawa, dan Tionghoa.
Menjelang Ramadhan adalah masa panen perajin warak. Meski tak sebanyak masa jayanya dulu, namun masih cukup lumayan juga. Minimal perajin bisa membuat 200 warak berbagai ukuran. Yang paling kecil tingginya 50 senti. Yang besar antara 2 hingga tiga meter.
"Bahan utama yang dipakai adalah kertas dan kayu, untuk membentuk badan dipakai kertas kardus, dan kerangkanya memakai kayu bekas kotak. Semuanya dirangkai membentuk replika binatang warak. Untuk bulu-bulunya, bahan yang dipakai adalah kertas minyak," kata Arief, perajin lainnya.