- pixabay.com
Tata Cara dan Waktu Membayar Utang Puasa Sebelum Ramadhan Sesuai Al-Quran dan Para Ulama
tvonenews.com - Membayar utang puasa, adakalanya perlu memperhatikan waktu yang tepat bagi Anda yang berhalangan atau meninggalkan puasa Ramadhan.
Meski ibadah puasa bersifat wajib, namun salah satu keistimewaan puasa Ramadhan yaitu dapat ditinggalkan bagi kaum muslimin dalam keadaan tertentu.
Namun, orang tersebut harus membayar puasa yang ditinggalkannya di hari-hari lain setelah Ramadhan.
Membayar lunas utang puasa Ramadhan wajib dilakukan sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkanya. Puasa ini juga sering disebut dengan istilah puasa qadha.
Puasa qadha dapat dilakukan setelah bulan puasa atau Ramadhan. Waktu membayar utang puasa Ramadhan pun memiliki ketentuan tersendiri.
Namun, banyak orang yang menyepelekan waktu membayar utang puasa Ramadhan. Bahkan, utang puasa ini tidak sempat terbayarkan hingga datang bulan Ramadhan selanjutnya.
Meski waktu membayar utang puasa lebih luas, beberapa pendapat ulama memiliki pandangan tersendiri. Maka dari itu penting untuk mengetahui waktu membayar utang puasa agar kewajiban tidak terlalaikan.
Ketentuan waktu membayar utang puasa ini juga tidak hanya meliputi batas waktu qadha, melainkan juga apakah qadha harus dilakukan secara berurutan atau tidak.
Berdasarkan Surat Al-Baqarah:184, Allah SWT kemudian menjelaskan tentang beberapa orang yang meninggalkan puasa karena alasan tertentu.
Sebagaimana dijelaskan juga oleh para ulama tarjih berdasarkan ayat Al-Quran orang yang boleh tidak berpuasa yaitu:
"Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.
Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (Surat Al-Baqarah:184).
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan ada 3 orang yang berpotensi memiliki hutang puasa yaitu orang yang sakit (marid), orang yang bepergian (musafir), dan orang yang tidak mampu atau berat menjalankan puasa.
1. Musafir dan Orang sakit
Aturan terhadap orang yang boleh tidak berpuasa salah satunya adalah musafir. Untuk alasan sakit dan bepergian, dan alasan ini memperbolehkan seseorang meniggalkan puasa.
Namun dengan ketentuan membayar hutang puasa di luar bulan Ramadhan, sebagaimana maksud Surat Al-Baqarah:183, cara membayarnya yaitu dengan berpuasa di luar Ramadhan.
2. Haid atau Menstruasi
Termasuk juga golongan ini adalah perempuan yang menstruasi, sebagaimana hadist Aisyah riwayat Muslim No.789.
Imam al-Nawawi dalam mensyarahi hadist Muslim, membuat ulasan bahwa dalam kaitan dengan golongan ini ada 3 hal yang disepakati para ulama.
Yaitu bagi orang menstruasi tidak wajib shalat dan puasa, tidak wajib qada shalat, dan wajib qada puasa (al-Minhaj Syarh Muslim bin al-hajjaj, Juz. 02 h.46).
3. Orang tua renta
Sementara untuk orang yang tidak kuat atau berat menjalankan puasa, maka wajib membayar fidyah saja, tidak perlu mengganti puasa qadha.
Sebagaimana Hadist Ibnu Abbas dalam al-Mustadrak Al-hakim No. 1607. Para ulama menjelaskan bahwa orang yang tidak kuat ini adalah orang yang tua renta (al-syaikh al-kabir).
Termasuk dalam golongan ini sebagaimana para ulama Majelis Tarjih menambahkan, yaitu Ibu Hamil dan menyusui.
Selaras dengan hadist Ibnu Abbas dalam riwayat al-Bazar No.4996 yaitu dengan membayar fidyah berupa 1 mud makanan pokok (sejumlah 0,6 kg) untuk tiap sehari puasa yang ditinggalkan.
Para Ulama Tarjih juga berpendapat, pilihan cara membayar tetap ada, antara boleh meng-qadha puasa jika ada kesempatan, atau boleh juga mencukupkan pada fidyah yang telah dibayarkan.
Para ulama tarjih juga melihat keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir waktu kapan harus mengganti puasa qadha.
Namun tentu saja, akan jauh lebih baik membayar puasa qadha sebelum Ramadhan berikutnya.
Aturan Qadha Puasa
Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit atau bersafar atau menjadi musafir, maka ia wajib mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Beberapa aturan tentang qadha puasa
1. Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera dan tanpa ditunda-tunda berdasarkan firman Allah SWT
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)
2. Qadha puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan.
3. Tidak wajib membayar qadha puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).
4. Qadha puasa tetap wajib berniat di malam hari sebelum Shubuh sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan.
Puasa qadha harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.
Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700.
Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mauquf hanya sampai pada sahabat.
Yang menyatakan hadits ini marfu adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20.
Adapun puasa sunnah seperti puasa Syawal boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata:
“Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.”
Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).”
Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154).
Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”
Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33).
5. Saat ada yang melakukan qadha puasa lalu ia berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha disertai dengan taubat.
Kafarah berat yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, dan hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.
(udn)