- Istimewa
Istri Tolak Dipoligami, Bagaimana Hukumnya? Berdosakah?
Jakarta, tvOnenews.com - Poligami adalah dimana seorang pria menikahi lebih dari satu wanita dalam waktu bersamaan.
Poligami dapat juga disebut sistem dimana membolehkan suami beristri lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Sementara, jika istri yang bersuami lebih dari satu disebut dengan poliandri.
Poligami kerap menjadi pro kontra di masyarakat. Ada yang tegas menolak namun ada yang dengan bangga menunjukkan kebersamaannya dengan para istri-istri dari suami mereka.
Pro kontra tentang poligami memang selalu menjadi isu menarik, terlebih Al-Qur’an pada Surat An-Nisa ayat 3 menyatakan:
Ilustrasi (ant)
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ، فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya:
Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat. Lalu bila kalian khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tidak berbuat aniaya.
Dari ayat di atas dinyatakan bahwa seorang pria boleh memiliki istri sampai empat. Lantas bagaimana hukumnya jika seorang istri menolak untuk dipoligami?
Penolakan seorang istri terhadap praktek poligami ternyata memiliki dasar yang sesuai dengan pendapat ulama Syafiiyah dan Hanabilah, sebagaimana dilansir dari NU Online pada Selasa (7/3/2023) berikut ini:
ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَزِيدَ الرَّجُل فِي النِّكَاحِ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ ، إِنْ حَصَل بِهَا الإِعْفَافُ لِمَا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْوَاحِدَةِ مِنَ التَّعَرُّضِ لِلْمُحَرَّمِ ، قَال اللَّهُ تَعَالَى وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، وَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيل إِلَى إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ"... وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ إِبَاحَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ إِلَى أَرْبَعٍ إِذَا أَمِنَ عَدَمَ الْجَوْرِ بَيْنَهُنَّ فَإِنْ لَمْ يَأْمَنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَا يُمْكِنُهُ الْعَدْل بَيْنَهُنَّ ، فَإِنْ لَمْ يَأمَنْ اقْتَصَرَ عَلَى وَاحِدَةٍ لِقَولِه تَعَالَى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Ilustrasi (pixabay)
Artinya:
Bagi kalangan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak dianjurkan untuk berpoligami tanpa keperluan yang jelas, karena praktik poligami berpotensi menjatuhkan seseorang pada yang haram (ketidakadilan). Allah berfirman: Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu menginginkan sekali.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.’ ... Bagi kalangan Hanafiyah, praktik poligami hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak dapat memastikan keadilannya, ia harus membatasi diri pada monogami berdasar firman Allah, ‘Jika kalian khawatir ketidakadilan, sebaiknya monogami, (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama, 2002 M/1423 H, juz 41, halaman 220).
Oleh karena itu, berdasarkan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istri yang menolak dipoligami tidaklah berdosa, apalagi jika dikategorikan menentang firman Allah terkait kebolehan poligami.
Sebab dalam persoalan poligami terdapat unsur keadilan, mampu menafkahi dan berpotensi memunculkan sakit hati banyak pihak.
Meskipun dalam beberapa kasus kasus ada beberapa pihak istri yang setuju dipoligami karena sang suami dianggap mampu.
Mampu yang dimaksud yaitu dalam menerapkan unsur keadilan, mampu menafkahi dan menghindari sakit hati antar istri-istrinya.
Ilustrasi (pixabay)
Namun Syekh Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa poligami bukanlah bangunan ideal rumah tangga Muslim.
Bangunan ideal rumah tangga itu menurutnya adalah monogami. Hal ini karena poligami adalah sebuah pengecualian dalam praktik rumah tangga.
Praktik ini dikatakannya dapat dijalankan karena sebab-sebab umum dan sebab khusus. Menurutnya, poligami hanya dapat dilakukan dalam kondisi darurat yang membolehkan seseorang menempuh poligami.
Maka dari itu, sangat tidak dibenarkan bila poligami berdalih sebagai sunnah Nabi. Padahal dalam tarikh, disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok setia atau monogami pada Sayyidah Khadijah.
Sepeninggal Siti Khadijah, barulah Nabi Muhammad menikah lagi. Hal itu pun atas perintah Allah bukanlah semata nafsu.
Wallahualam