- Dok. Museum Kebangkitan Nasional Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
Sosok Sang Pencerah Kyai Haji Ahmad Dahlan
tvOnenews.com - Malam itu, di tahun 1883, rumah Kyai Haji Abu Bakar di Kampung Kauman Yogyakarta, ramai didatangi kerabat dan masyarakat sekitar. Mereka datang untuk mendoakan putra Kyai Abu Bakar, Muhammad Darwis, yang akan melakukan perjalanan panjang menuju tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Pada masa itu, perjalanan spiritual berhaji menunaikan rukun Islam ke lima itu bukan sesuatu yang mudah. Muhammad Darwis, putra kebanggaan Kyai Abu Bakar itu akan melakukan perjalanan panjang yang berliku, dan barangkali saja nyawa akan menjadi taruhannya.
"Berkat bantuan biaya dari kakak iparnya yang bernama Kyai Haji Soleh, Muhammad Darwis berangkat ke Mekkah. Pagi harinya Muhammad Darwis diiring oleh masyarakat berjalan menuju stasiun Tugu untuk naik kereta api tujuan Semarang." tulis Nur Khozin dan Isnudi, dalam Biografi Kyai Haji Ahmad Dahlan, Diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Saat di Semarang, kedatangan Muhammad Darwis disambut oleh kerabat lainnya yang sudah menyiapkan pondokan untuk istirahat selama menunggu keberangkatan dengan kapal.
Perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kapal dagang Tiongkok
dari pelabuhan Semarang menuju Singapura. Dua hari setelah pelayaran kapal sampai ditempat tujuan.
Kedatangan Muhammad Darwis disambut oleh Syekh Abdul Kahar, yang kemudian mengajaknya untuk menginap di pondokan Kampung Jawa selama lima hari (Nugraha, 2009: 21).
"Muhammad Darwis melanjutkan perjalanan menuju Mekkah dengan
menumpang kapal Mispil yang berangkat menuju Eropa melalui Aden dan Jedah. Setelah melalui Laut Merah kapal sampai di pelabuhan Jedah." tulis Nur Khozin dan Isnudi.
Sejarah kemudian mencatat, dari perjalanan spiritual menuju Mekah ini pula, Muhammad Darwis kemudian belajar banyak hal di Mekah, dengan para ulama-ulama ternama dan kemudian pulang dan menjadi seorang ulama pembaharu yang mendorong kemajuan umat Islam di tanah air.
Ulama dari Kauman Yogyakarta
Tokoh muslim KH Ahmad Dahlan lahir dengan nama Muhammad Darwis di Kampung Kauman Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Kampung Kauman adalah sebuah pemukiman pendudukan yang berada dalam kawasan njeron benteng atau kawasan dalam kompleks keraton Yogyakarta. Kebanyakan dihuni oleh para abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Kauman berasal dari bahasa Arab, qoimmuddin yang berarti
penegak agama. Masyarakat yang tinggal di Kauman adalah keluarga ulama yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup luas.
Semua anggota masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai dan ajaran agama islam. Mereka taat dan rajin melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta tahun 1888 - Dok.Museum Kebangkitan Nasional Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
Dilansir dari buku "KH Ahmad Dahlan" terbitan Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Darwis lahir sebagai putera keempat dari K.H. Abu Bakar, seorang ulama yang juga abdi dalem Kesultanan Yogyakarta karena menjabat sebagai khatib di Masjid Gedhe yang bertugas memberikan khotbah Sholat Jum’at secara bergiliran dengan khatib lainnya.
Muhammad Darwis termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Muhammad Darwis dididik secara langsung oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Pengetahuan dasar tentang agama dan membaca kitab suci Al Qur’an menjadi materi pelajaran yang pertama kali dipelajari.
Kyai Haji Abu Bakar menguji secara langsung pemahaman materi yang diajarkannya, jika dinilai sudah mampu dilanjutkan pada materi pelajaran berikutnya.
Pada usia ke-15 tahun, Muhammad Darwis pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode inilah ia muda mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman.
Sepulang dari Mekkah, Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah yang merupakan sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah kemudian dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. (Kutojo, 1991).
Pada tahun 1903 Ahmad Dahlan berangkat lagi ke Mekah dan menetap di sana selama 2 tahun untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di Mekah Ahmad Dahlan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Selain itu Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.
Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.
Berdirinya Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan, adalah seorang ulama yang mendirikan organisasi Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam terbesar saat ini yang memberikan banyak sumbangsih bagi kehidupan bangsa, khususnya dibidang pendidikan, kesehatan dan membangun kekuatan ummat yang maju dan moderen.
Agama Islam dalam pandangan Ahmad Dahlan menekankan perlunya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Setelah melakukan ibadah yang terkait dengan Allah, umat Islam dituntut untuk beribadah juga dengan sesama mahluk.
Pengurus Muhammadiyah saat foto bersama di Yogyakarta - Dok.Museum Kebangkitan Nasional Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
KH Ahmad Dahlan mengajarkan pentingnya manusia memiliki jiwa sosial yang diwujudkan dengan sikap saling tolong menolong, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, serta gotong royong untuk meningkatkan kesejahteraan
Ahmad Dahlan melihat persoalan pendidikan adalah akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.
Untuk memperluas dakwahnya Ahmad Dahlan kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 20 Desember 1912. Ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Pengurus Muhammadiyah dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta - Dok.Museum Kebangkitan Nasional Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
Sepak terjang Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah ini membuat pemerintah Belanda khawatir dan membatasi kegiatannya. Namun, walaupun gerak Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah.
Dari tahun 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah Islam. Pada tahun 1919 sebuah sekolah menengah Islam, Hooge School Muhammadiyah didirikan.
Dalam mendirikan sekolah, Muhammadiyah menerima bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang menyediakan guru.
Muhammadiyah pada umumnya menghindari politik dan tidak pernah membentuk partai politik. Sejak didirikan, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial.
Ketika itu, perjuangan yang dilakukan Ahmad Dahlan tidak mudah. Bukan hanya tantangan dari pemerintah Belanda, tetapi juga dari penduduk pribumi, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri.
Ide-ide Pembaharuan Ahmad Dahlan dianggap aneh dan menyeleweng dari ajaran Islam sehingga membuatnya dituduh sebagai kiai kafir. Namun ia tetap bertahan dan terus berjuang dengan sekuat tenaga hingga Muhammadiyah tetap bertahan hingga hari ini di usianya yang telah melewati satu abad.
Reformasi dan modernisasi di mata Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya bisa dilakukan dalam bidang politik saja, banyak hal yang perlu dikerjakan dalam menciptakan masyarakat Islam yang sejahtera.
Itulah sebabnya Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah lebih mengutamakan aspek ibadah, aqidah, syariah, ahlak dan muamalah. Mendirikan sekolah, panti asuhan, rumah sakit dan penerbitan, menjadi prioritas gerakan amaliah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. (Buz)