- Dok. Pribadi/Ani Suandari-Jemaah Calon Haji 2023
Begini Solusi Bagi Perempuan Haid yang Ingin Thawaf Ifadhah
Madinah, tvOnenews.com - Rukun haji yang ketiga adalah thawaf ifadhah yakni mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali. Selama berhaji, seorang jemaah akan berhenti membaca talbiyah setibanya di Hajar Aswad untuk memulai tawaf.
Seorang jemaah haji harus menjalankan thawaf ifadhah ini dengan cara mengelilingi ka’bah sebanyak 7 (tujuh) putaran sambil berjalan kaki.
Thawaf dimulai dan diakhiri pada arah sejajar dengan Hajar Aswad, di mana posisi ka’bah selalu berada di sebelah kiri badan jemaah.
Setiap awal putaran, jemaah haji berdiri harus menghadap hajar aswad dengan seluruh badan (sebagian) miring atau menghadapkan muka saja sambil mengangkat tangan dan membaca:
بِسْمِ اللهِ اَللهُ أَكْبَرُ
Artinya: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar.
Kemudian mengecup tangan kanan, lalu mulai bergerak dengan posisi ka’bah di sebelah kiri.
Selama melakukan thawaf, umat Muslim diharapkan untuk menjaga adab dan etika yang sesuai.
Para jemaah haji diharapkan berjalan dengan tenang dan tertib, menjaga kesucian dan kebersihan diri, menghindari berbicara atau melakukan hal-hal yang dapat mengganggu ibadah, serta menghormati orang lain yang sedang melaksanakan thawaf. Selain itu, jemaah haruslah suci dari hadats kecil maupun besar.
Ilustrasi Masjidil Haram yang Dipadati oleh Jemaah Haji (kemenag)
Konsultan Ibadah Daerah Kerja (Daker) Madinah KH Ahmad Wazir Ali berbagi solusi bagi perempuan haid yang akan Tawaf Ifadah ataupun Tawaf Umroh.
Tawaf, kata Kiai Wazir Ali, karena tawaf salah satu rangkaian ibadah yang wajib dilakukan karena termasuk ke dalam rukun haji, sehingga yang hendak melakukan tawaf harus mengetahui syarat sahnya yakni harus dalam keadaan suci.
"Lantas kalau haid solusinya bagaimana. Pertama ketika jamaah perempuan memiliki waktu yang lama dan tidak dalam waktu kepulangan maka yang bersangkutan harus menunggu suci. Ketika sudah suci, maka wajib baginya untuk mandi dan melaksanakan Tawaf Ifadah atau Tawaf Umroh," katanya.
Ikhtiar berikutnya, lanjut Wazir Ali di Madinah, Jumat (16/6/2023), peserta haji perempuan dibolehkan menggunakan pil anti-haid sebelum melaksanakan tawaf.
Pengasuh Pesantren Denayar Jombang menambahkan apabila waktu sudah mendesak lalu khawatir tertinggal rombongan dan mendekati pulang atau bagi gelombang kedua yang sudah harus diberangkatkan ke Madinah, maka solusinya cari jeda waktu dalam sehari baik satu jam atau dua jam waktu tidak keluarnya haid.
"Jika waktu itu tiba, maka jamaah perempuan menyegerakan mandi lalu melaksanakan tawaf. Meskipun nanti selesai tawaf keluar haid maka sudah dianggap sah," katanya.
Dalam istilah fikihnya Annaqo' fi ayyam alhaid thuhrur atau kondisi bersih (tidak keluar darah) pada hari haid, saat itu terbilang suci.
Kiai Wazir melanjutkan dengan melihat waktu tidak keluarnya haid, jamaah bisa memperkirakan misalnya berapa waktu yang dibutuhkan untuk tawaf. Lalu berapa jam yang dibutuhkan untuk mandi plus berjalan menuju Masjidil Haram.
Ilustrasi Masjidil Haram yang Dipadati oleh Jemaah Haji (kemenag)
Katakanlah, lanjutnya, tawaf butuh tiga jam sementara tidak keluar haid diperkirakan tiga jam lebih sedikit, maka secepatnya mandi dan tawaf, misalnya malam tidak keluar haid maka tak perlu menunggu pagi khawatir keluar lagi. Jamaah bisa segera langsung tawaf dengan menggunakan pembalut yang rapat.
"Itu sudah dianggap suci dan sudah dianggap sah. Solusi ini menggabungkan dua mazhab (talfiq) atau metode eklektik karena memang kondisinya," kata dia.
Bagaimana jika waktu sudah mepet, kata dia, sementara dalam sehari haid keluar terus, maka jamaah bisa mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim yang menyatakan tawaf tersebut dianggap sah karena kondisi darurat, sehingga tidak berkewajiban membayar dam.
"Tapi itu sudah 'kartu kuning' dari solusi-solusi paling akhir itu," kata dia
Untuk Mazhab Hanafi membayar dam berupa unta, sementara Mazhab Hambali membayar dam berupa kambing. Apabila tidak sanggup membayar dam karena uang sudah habis dan sudah masuk jadwal pulang maka dikatakan Ibnu Taimiyah, dalam kaidah ushul fiqih setiap kewajiban yang tidak mampu ditunaikan maka kewajiban itu menjadi gugur.
"Dengan demikian itu sudah aman, ini sebagai solusi yang paling akhir," tutup Kiai Wazir.(ant)