- tim tvone - zainal ashari
Keutamaan Rangkaian Ibadah Dzulhijah Puasa 9 Hari hingga Berkurban bagi yang Mampu
Surabaya, tvOnenews.com - Dzulhijah adalah bulan terakhir dalam penanggalan kalender Hijriah yang di dalamnya sebulan terdapat banyak kemuliaan ibadah, selama bulan Agung dalam kalender umat Islam ini.
Salah satu keutamaan Bulan Dzulhijah, dimulai pada 10 hari pertama Dzulhijah. Ulama muda kharismatik Presiden Laskar Sholawat Indonesia Gus Muhamad Fawait menjabarkan sebuah hadis Nabi Muhamad SAW.
“Seandainya tidak ada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, maka keutamaan 10 hari Dzulhijah bisa melebihi 10 hari terakhir Ramadhan,”uUjar Gus Fawait.
Rangkaian ibadah Dzulhijah merupakan bagian dari Ibadah Haji. Selain haji, amalan khusus lainnya pada 10 hari pertama Dzulhijah antara lain puasa sunnah, sholat hari raya Idul Adha, dan menyembelih hewan kurban.
Pelaksanaan puasa sunah Dzulhijah dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah. Khusus tanggal 8 dan 9 Dzulhijah disebut puasa Tarwiyah dan Arafah. Keutamaan secara umum puasa sunnah ini adalah satu hari berpuasa setara dengan satu tahun.
“Tidak ada hari-hari yang lebih Allah sukai untuk beribadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Satu hari berpuasa di dalamnya setara dengan satu tahun berpuasa, satu malam mendirikan shalat malam setara dengan salat pada malam Lailatul Qadar,” (HR At-Tirmidzi).
Adapun keutamaan melaksanakan puasa Tarwiyah dan Arafah secara khusus adalah menghapus dosa yang lalu. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut.
“Puasa hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun. Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa dua tahun.”
(HR Abus Syekh Al-Ishfahani dan Ibnun Najar).
Sholat hari raya idul Adha dilakukan pada 10 Dzulhijah pagi. Sebelum sholat id, disunnahkan mandi dan tidak makan. Puncak dari rangkaian ibadah Dzulhijah ini adalah pelaksanaan menyembelih hewan kurban bagi orang yang mampu.
Ibadah menyembelih hewan kurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adha sampai tiga hari tasyrik yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
Ibadah kurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh keridhaan-Nya. Ibadah ini termasuk yang diperintahkan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Artinya: “Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban.” (QS al-Kautsar ayat 2)
Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah, apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari keluarga sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah fardu ain.
Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang Islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.
(Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)
Salah satu persoalan mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban.
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meninggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا
Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak sah. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak, karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma para ulama.
(Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406). (zaz/hen)