- pixabay/Smacznadietetyka
Mengenal Karmin, si Pewarna Alami yang Mendadak Bikin Heboh
Jakarta, tvOnenews.com - Pewarna alami bernama Karmin mendadak menjadi perbicangan publik.
Pasalnya, PW Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jatim mengharamkan penggunaan karmin sebagai bahan makanan atau minuman.
Namun, terjadi perbedaan pendapat terkait pewarna alami karmin.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011, Karmin hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Lantas Apakah Karmin? Pewarna dari Apakah Karmin?
Berikut penjelasan mengenai Karmin yang dilansir tvOnenews.com dari laman Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Karmin adalah pewarna alami yang berasal dari serangga cochineal.
Cochineal adalah hewan sejenis kutu daun yang nama latinnya Dactylopius Coccus.
Cochineal adalah binatang sejenis serangga.
Sehingga Cochineal memiliki banyak kesamaan dengan belalang, salah satunya darahnya tidak mengalir.
Menurut LPPOM MUI, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Pewarna alami tersebut terbuat dari cochineal yang dihancurkan.
Sebagai bahan pewarna makanan, karmin sering digunakan untuk mempercantik tampilan makanan kemasan dan olahan sehingga tampak lebih menarik.
Berbagai jenis makanan yang beredar di pasaran, misalnya es krim, susu, yoghurt, makanan ringan anak-anak.
Karmin juga digunakan untuk mewarnai produk perawatan tubuh seperti shampo dan lotion, serta make-up seperti eyeshadow.
Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr, dosen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University sekaligus auditor halal LPPOM MUI menerangkan, karmin dibuat dari serangga Cochineal (Dactylopius coccus) atau kutu daun yang menempel pada kaktus pir berduri (genus Opuntia).
Serangga jenis ini banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan.
Saat ini Peru dikenal sebagai penghasil karmin terbesar di dunia, mencapai 70 ton per tahun.
Kaktus digunakan sebagai sumber makan cochineal pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
Cara Produksi Karmin
Ilustrasi Tanaman Kaktus Tempat Cochineal Hidup (pixabay/ofravim)
Pasangan cochineal diinduksikan pada kaktus, kemudian Cochineal betina berkembang biak, dan menjadi dewasa, ditandai dengan bentuk tubuh membesar dan berisi.
Setelah serangga menjadi besar dan berisi, kemudian dipanen dengan cara disikat, dikeringkan dengan sinar matahari, ditampi untuk menghilangkan bulu.
Untuk mengolah menjadi pewarna, serangga cochieneal dijemur hingga kering lalu dihancurkan dengan mesi.
Setelah itu, jadilah serbuk berwarna merah tua cerah.
Untuk menonjolkan aspek warna yang diinginkan, biasanya ekstrak cochineal ini dicampur dengan larutan alkohol asam untuk lebih memunculkan warna.
Apakah Karmin Halal?
Ilustrasi Minuman yang Berwarna (pixabay/Einladung_zum_Essen)
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si menjelaskan, dilihat dari bahan dasarnya yakni cochineal, MUI telah mengeluarkan fatwa, yakni halal.
Pada tahun 2011 MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011, menjelaskan bahwa serangga cochineal merupakan serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman.
Cochineal merupakan binatang yang mempunyai banyak persamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.
Adapun pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Isi Fatwa MUI Soal Karmin
Logo MUI (Istimewa)
Berikut isi fatwa MUI mengenai Karmin yang dilansir tvOnenews.com dari laman resmi MUI.
MUI menetapkan hukum pewarna makanan karmin yang dimuat dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan Dan Minuman dari Serangga Cochineal.
Fatwa ditandatangani oleh Prof Hasanuddin AF selaku ketua Komisi Fatwa MUI dan KH Asrorun Ni’am Sholeh selaku Sekretaris pada 10 Agustus 2011.
Fatwa itu menetapkan bahwa Pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal (Pewarna Karmin) hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.
Penetapan fatwa tersebut berdasarkan beberapa landasan, di antaranya firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145 yang berbunyi:
قُل لَّاۤ اَجِدُ فِىۡ مَاۤ اُوۡحِىَ اِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطۡعَمُهٗۤ اِلَّاۤ اَنۡ يَّكُوۡنَ مَيۡتَةً اَوۡ دَمًا مَّسۡفُوۡحًا اَوۡ لَحۡمَ خِنۡزِيۡرٍ فَاِنَّهٗ رِجۡسٌ اَوۡ فِسۡقًا اُهِلَّ لِغَيۡرِ اللّٰهِ بِهٖۚ
Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. QS. Al-An’am [6]: 145.
Karmin Butuh Pelarut?
Ilustrasi Makanan yang Berwarna (pixabay/Daria-Yakovleva)
Muti Arintawati mengingatkan bahwa penggunaan pewarna juga membutuhkan adanya bahan pelarut, bahan pelapis, hingga bahan pengemulsi agar warna semakin cerah, tidak mudah pudar, dan stabil.
Bahan pelarut dapat menggunakan bahan etanol, triacetin atau gliserin.
Gliserin salah satunya dapat dihasilkan dari proses hidrolisis lemak hewani.
Bahan pelapis dapat menggunakan sumber gelatin, yang umumnya berasal dari gelatin hewani.
Bahan pengemulsi dapat menggunakan turunan asam lemak yang berasal dari asam lemak hewani.
Mengingat bahan tambahan pada pewarna alami tersebut banyak menggunakan bahan dari hewan, maka harus dipastikan bahwa bahan tersebut berasal dari hewan halal yang diproses secara halal.
Itulah penjelasan mengenai Karmin.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Disarankan bertanya langsung pada ulama, pendakwah atau Ahli Agama Islam agar mendapatkan pemahaman yang lebih dalam.
Wallahua’lam