- Freepik
Guru Besar UMY Ingatkan Usulan Pembentukan Negara Islam Tak Sama dengan Akidah, Masyarakat Indonesia Diminta Mengerti...
Jakarta, tvOnenews.com - Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Zuly Qodir mengatakan adanya perbedaan terkait mendirikan negara Islam dengan akidah Islam.
Guru Besar UMY itu menyampaikan bahwasanya masyarakat Indonesia harus mengerti pendirian negara Islam atau khilafah islamiah berbeda dari akidah Islam.
"Kita harus bisa memisahkan antara gagasan khilafah islamiah atau gagasan negara Islam dengan bagaimana kita meyakini akidah Islam," ungkap Zuly dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Ia menjelaskan perbedaan terkait mendirikan negara Islam sangat dibutuhkan terutama untuk umat Muslim di Indonesia agar dijadikan sebagai acuan dan ilmu pengetahuan mereka.
"Menjadi pondasi utama untuk kaum Muslim," ucap Guru Besar UMY itu.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Zuly Qodir tanggapi pembentukan negara Islam beda dari akidah. (ANTARA)
Ia menuturkan dari perbedaan akidah Islam dan gagasan dalam mendirikan negara Islam seringkali disalahgunakan.
Misalnya pembentukan negara Islam seringkali memunculkan kelompok radikal yang suka menggabungkan sejumlah akidah.
Ia berpendapat biasanya kelompok radikal selalu mencampurkan akidah bersifat mutlak dengan penafsiran akidah berupa fiqih siyasah atau politik.
Menurutnya, kedua akidah tersebut tidak memiliki sifat yang sama atau berbeda dari prinsipnya masing-masing.
"Ajaran khilafah islamiah atau seruan untuk mendirikan negara Islam adalah agenda politik dan merupakan bagian dari fiqih siyasah, fiqih yang membahas soal perpolitikan," jelasnya.
Ia menjelaskan dari perbedaan pemahaman ini semakin memunculkan potensi memudahkan kelompok Islam radikal untuk membentuk negara Islam.
Ia berasumsi bahwa kelompok Islam radikal mempunyai rencana bahwa pembentukan negara Islam dianggap sempurna dalam melakukan kehidupan beragama.
Guru Besar UMY itu melihat anak muda sebagai target sasaran aksi modus kelompok radikal.
Terutama bagi anak muda yang tidak memahami dan pernah belajar Agama Islam.
Lanjut, ia menyayangi keparahan tafsir fiqih disampaikan tentang khilafah islamiah adalah bagian akidah atau biasa dikenal syariat Islam.
Ia menegaskan jika pemikiran tersebut sudah mempengaruhi anak muda dapat pemicu adanya propaganda berdasarkan syariat dalam mendirikan negara Islam.
"Merupakan kewajiban dan akan dianggap berdosa jika tidak dijalankan," katanya.
Ia menjelaskan sejak pendiri bangsa menyepakati pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk akhir perdebatan terkait kebutuhan dalam mendirikan negara Islam.
Ia menambahkan pendirian negara Islam tidak diminati oleh umat Muslim di Indonesia sebagai petunjuk antusiasnya tidak besar.
"Tidak usah terlalu jauh tentang negara Islam atau khilafah islamiah, kita bisa lihat gagalnya partai-partai Islam di Indonesia untuk mendapatkan suara yang mayoritas dari konstituennya," tuturnya.
"Ini hanya salah satu bukti bahwa masyarakat Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai 87 persen dari total penduduk, tidak menjamin sebuah partai berideologi Islam bisa lolos electoral threshold (ambang batas elektoral)," sambungnya.
Kendati demikian, ia berharap proses pencarian guru dalam belajar Agama Islam harus dilakukan secara selektif.
Ia mengambil contoh dari pengikut kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinilai berpacu mencari sumber ilmu pengetahuan berasal dari internet dianggap dasar keilmuannya menjadi tidak jelas.
"Hal ini tentu berbeda dengan organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah," imbuhnya.
Menurutnya, dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut sukses dalam pembentukan para kadernya melalui sistem pembelajaran di berbagai instansi, salah satunya pondok pesantren (ponpes).
"Kedua lembaga ini mengirimkan para kadernya untuk belajar di pondok pesantren hingga Islamic studies (kajian Islam) di perguruan tinggi ataupun di dalam kajian-kajian keislaman yang sifatnya intensif," paparnya.
Oleh karena itu, ia menyatakan anak-anak muda bangsa khususnya pemegang keyakinan Agama Islam menumbuhkan peintingnya belajar ilmu dan sejarah Agama Islam.
"Kita bisa merujuk kepada zaman kenabian di masa lalu. Tidak ada satu nabi pun yang mengatakan perlunya negara Islam, yang ada hanyalah negara atau masyarakat madani, negara yang beradab pada zaman Nabi Muhammad," tandasnya.
(ant/hap)