Meneladani Kezuhudan Sahabat Abu Dzar Al-Ghifari
Jakarta - Diantara wujud ketakwaan terhadap Allah adalah sikap zuhud. Zuhud secara substansial dapat diartikan sebagai keadaan jiwa yang tidak didominasi oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Adapun indikator utamanya adalah: وُجُودُ الرَّاحَةِ فِي الْخُرُوجِ عَنِ الْمِلْكِ
“Tetap merasa nyaman dan tidak merasa kehilangan saat harta dunia keluar dari kepemilikan kita.”
Demikan menurut Syekh Abdullah bin al-Khafif (276-371 H), sufi Ahlussunnah wal Jamaah asal kota Shiraz Persia, atau Iran sekarang. (Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risâlatul Quraisyiyyah, juz I, halaman 55).
Di antara sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal kezuhudannya adalah Abu Dzar Al-Ghifari ra (wafat 32 H). Beliau adalah orang keempat atau kelima yang memeluk Islam langsung di hadapan Nabi Muhammad SAW.
Saking zuhudnya, Abu Dzar menganggap bahwa orang tidak boleh menyimpan biaya hidup yang melebihi kebutuhannya dalam sehari semalam. Karenanya, sahabat Nabi SAW yang lain, yaitu Mu’awiyah ra menguji konsistensi sikap kezuhudan sahabatnya itu.
Selanjutnya Sayyidina Mu’awwiyah ra mengutus orang untuk memberinya uang 1.000 dinar, kurang lebih sama dengan 3,5 miliar rupiah. Utusan itupun pergi membawa uang itu mendatangi Abu Dzar. Setelah sampai di sana, ia mengutarakan maksudnya:
“Mu’awiyah mengirimkan uang ini untukmu.”
Mendapati tamunya memberikan uang yang sangat banyak, Abu Dzar segera menerimanya. Namun setelah si tamu berpamitan, Ia segera membagikan uang itu kepada orang-orang yang membutuhkan dan tidak menyisakan sedikit pun untuk diri dan keluarganya.
Tak terduga, di waktu kemudian atas perintah Muawiyah utusan itu kembali lagi kepadanya dan menyatakan bahwa ia telah salah orang.
“Sungguh aku telah salah memberikan uang 1.000 dinar itu kepadamu, sebenarnya aku diutus untuk memberikannya kepada orang yang lain, aku takut Mu’awiyah nanti akan menghukumku,” kata utusan itu penuh kekhawatiran.
“Bagaimana kamu itu, demi Allah uang itu tidak sampai menginap di sini sedikit pun (langsung ku bagikan kepada orang yang membutuhkan pada hari itu juga); tapi tenang, sabarlah dan tunggu nanti akan aku ganti,” jawab Abu Dzar dengan tenang. (Muhammad bin Abdillah al-Jardani ad-Dimyathi, al-Jawâhir al-Lu’lu’iyyah fî Syarhil Arba’înan Nawawiyyah, [Mansurah, Maktabah al-Îman], halaman 157).
seperti dikutip dari nu online, sikap teladan kezuhudan seorng Abu Dzar al-Ghifari ini selaras dengan kalam hikmah yang sangat populer:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ
Artinya, “Cinta dunia adalah pokok setiap kesalahan” (Riwayat Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi).
Tentu kita cukup sulit untuk meniru secara persis kezuhudan Sayyidina Abu Dzar al-Ghifari. Namun, secara substansial kezuhudan Abu Dzar ra dalam hal menjaga diri dari terkuasai oleh harta duniawi dapat kita teladani.
Begitu pula keteladanannya untuk ringan berbagi rezeki kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Dengan meneladaninya semoga kita tercatat sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan ketakwaan dengan sebenar-benarnya. Amin ya rabbal ‘alamin.