- ANTARA
Gus Baha, Kesederhaaan Hidup dan Kedalaman Ilmu Jaringan Intelektual Alumni Pesantren
Jakarta, tvOnenews.com-Melihat kiprah Gus Baha dalam dakwah kita menyaksikan potret intelektual yang terbangun dari pesantren, yang begitu piawai di sektor informal dan langsung mengusai "hajat hidup keagamaan" orang banyak.
Jaringan ulama muda serupa Gus Baha sangat laten, tak pernah redup dan melengkapi jaringan intelektual muda yang menurut Hairus Salim, seperti yang ditulis di Alif.id juga eksis di tanah air. Menurut Hairus Salim, intelektual muda alumni Timur Tengah, seperti Mesir dan Saudi Arabia lebih berpengaruh dan populis ketimbang alumni Eropa dan Amerika Serikat yang lebih akademis dan elitis.
Gus Baha misalnya belum pernah belajar di Timteng dan Barat, tetapi kapasitas keilmuannya tidak diragukan dan popularitas serta pengaruhnya sangat diperhitungkan. Laku dakwahnya menerebos batas batas sosial, politik, budaya, agama. Kedalaman ilmunya melampui gelar agelar akademik. iaIa sangat santai tampil di sebuah universitas bergengsi bersama profesor dan guru besar, tapi sangat gembira ger geran di kampung kampung.
Sangat sering Gus Baha menjelaskan ngewarung, duduk, cangkruan di warung warung salah satu kesukaannya. Dari aktvitas ini ia melihat bagaimana orang biasa menerima semua takdir takdir yang ditetapkan Allah SWT dengan kelegaan. Lega lila.
Secara intelektual, Nasab Gus Baha bersambung ke ulama besar. Ia putra Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang. Seperti kita tahu, Kiai Nur Salim merupakan murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati.
Bersama Kiai Nur Salim inilah Gus Miek (KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling. Jantiko kemudian berganti Mantab (Majelis Nawaitu Topo Broto), lalu berubah jadi Dzikrul Ghafilin. Kadang ketiganya disebut bersamaan: Jantiko-Mantab dan
Kekuatan terbesar Gus Baha dari kesederhanaan. Saat dijodohkan oleh pamannya untuk menikahi seorang Ning, putri salah seorang pengasuh pesantren Sidogiri, Gus Baha menghadap calon mertuanya untuk meyakinkan bahwa beliau tak salah pilih menantu. Ia menjelaskan dirinya yang jauh dari kemewahan dan hanya bergumul dengan dunia keilmuan.