- LTN PBNU
Begini Ternyata Cara NU Menetapkan Hukum: Setelah Nas Berdialog dengan Realitas
Jakarta, tvOnenews.com - Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas.
Praktek ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut di era para Sahabat dan tabiin.
Sehingga jadi pijakan NU dalam bertistinbath ketika menetapkan hukum.
Kiai Zulfa menyampaikan, penetapan hukum di dalam NU didasarkan pada dua hal, yakni nash dan realitas atau teks dengan konteks.
"Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," katanya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.
Oleh karena itu, Kiai Zulfa menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya.
Tetapi juga harus memahami realitasnya.
Oleh karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.
"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," ujarnya.
Ia lalu mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting.
Menurutnya, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.
Sebagai diketahui, sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram.
"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujar kiai asal Banten itu.
Ia juga menegaskan bahwa kondisi sosial selalu berubah seiring perkembangan zaman.
Sebab, menurutnya mengutip ulama, 90 persen dalam penetapan fiqih adalah didasarkan pada realitasnya.
Kiai Zulfa lantas mencontohkan sejumlah tokoh yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan suatu persoalan.
Rasulullah saw, misalnya, yang pada akhirnya memberikan kurma untuk orang yang batal puasa karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari.
Sebab, kata Kiai Zulfa, Nabi SAW melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin.
Bahkan, ketika Nabi SAW memberikan kurma itu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin, ia menjawab bahwa dia orang paling miskin.
"Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas)," kata penulis kitab Al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi li al-Mutafaqqih Jahluhu itu.
Selain Nabi Muhammad, Kiai Zulfa juga menyebut Siti Aisyah RA sebagai sosok yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan sebuah hukum.
Lalu ada juga Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengkombinasikan antara realitas dan nash dalam menetapkan hukum.
Hal ini disampaikan Kiai Zulfa saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Ahad (11/8/2024) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.
Dalam acara itu, tampak hadir sejumlah fasilitator acara dari PBNU seperti KH Muhammad Cholil Nafis dan Gus Nurul Yaqin (Syuriyah PBNU) lalu KH Miftah Faqih, Muh. Silahuddin, dan A Ginanjar Sya'ban (Tanfidziyah PBNU).
Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, PWNU Sumatera Utara, PWNU Sumatera Barat, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Aceh, PCNU se-Sumatra Utara, dan PCNU se-Sumatra Barat. Seminar ini terselenggara atas kerja sama PBNU, Kementerian Agama, dan UIN Ar-Raniry. (put)