Keturunan Nabi Menikah dengan Kalangan Orang Biasa itu Boleh? Jawaban Buya Yahta Ternyata Seperti Ini Hukumnya....
Sumber :
  • YouTube Al Bahjah TV

Keturunan Nabi Menikah dengan Kalangan Orang Biasa itu Boleh? Jawaban Buya Yahya Ternyata Seperti Ini Hukumnya...

Sabtu, 31 Agustus 2024 - 23:15 WIB

tvOnenews.com - Keturunan Nabi memangnya boleh menikah dengan orang biasa? Buya Yahya jelaskan hukumnya dalam Islam.

Pernikahan adalah ikatan suci yang tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga dua keluarga. 

Dalam masyarakat, terutama di kalangan keturunan Nabi Muhammad SAW atau yang dikenal sebagai syarifah.

Kerap muncul pertanyaan mengenai apakah syarifah harus menikah dengan sesama keturunan Nabi, atau boleh menikah dengan orang biasa yang tidak memiliki garis keturunan tersebut.

Dalam sebuah kajian ceramahnya, Buya Yahya, seorang ulama yang dihormati, menjelaskan hukum mengenai pernikahan syarifah dengan orang biasa. 

Hal ini sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, mengingat adanya anggapan bahwa syarifah sebaiknya menikah dengan seseorang yang memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW.

Hukum Kafa’ah dalam Pernikahan

Buya Yahya memulai penjelasannya dengan konsep kafa’ah, yang berarti keseimbangan atau kesesuaian dalam pernikahan. 

Kafa’ah adalah konsep penting dalam Islam yang menekankan bahwa pasangan yang menikah sebaiknya memiliki kesesuaian dalam beberapa aspek, seperti agama, status sosial, dan garis keturunan.

"Kafa’ah ini adalah hukum keseimbangan atau kesesuaian. Sebelum kita berbicara tentang hukum syariat Islam, syariat fiqih, kafa’ah ini disepakati oleh orang yang berakal," ujar Buya Yahya dalam ceramahnya yang dilansir dari YouTube Channel Al-Bahjah TV.

Beliau menjelaskan bahwa dalam sejarah, raja biasanya menikah dengan keturunan raja, dan menteri dengan keturunan menteri. Ini adalah contoh dari kafa’ah yang diakui oleh masyarakat. 

Keseimbangan ini, menurut Buya Yahya, adalah hak yang dimiliki oleh kaum wanita, terutama yang berasal dari keturunan mulia seperti syarifah.

Kafa’ah dalam Agama dan Nasab

Selain *kafa’ah* dalam aspek sosial, ada juga kafa’ah dalam agama dan nasab (garis keturunan). 

Buya Yahya menegaskan bahwa seorang muslimah tidak boleh dinikahkan dengan seseorang yang tidak seiman, karena hal itu tidak memenuhi syarat kafa’ah dalam agama.

"Jika Anda memiliki anak sebagai seorang muslimah, jangan sampai dinikahkan dengan orang yang tidak beragama Islam. Karena yang tidak beragama Islam itu tidak *kafa’ah*, atau tidak setara," jelas Buya Yahya.

Dalam hal kafa’ah nasab, khususnya bagi keturunan Nabi Muhammad SAW, Buya Yahya menekankan bahwa ayah dari seorang syarifah memiliki hak penuh untuk menjaga kemuliaan nasab anak perempuannya. 

Artinya, seorang ayah boleh menolak pernikahan anaknya dengan orang yang tidak memiliki nasab yang serupa.

"Maka, Bapaknya tersebut sangat berhak untuk mempertahankan putrinya untuk tidak dinikahi oleh orang, kecuali dia adalah orang yang punya nasab yang serupa. Syarifah dengan Sayyid, itu haknya seorang Bapak," lanjut Buya Yahya.

Pandangan Mazhab tentang Pernikahan Syarifah

Buya Yahya juga menegaskan bahwa pandangan tentang kafa’ah dalam nasab ini telah disepakati oleh para ulama dari empat mazhab besar dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. 

Tidak ada perbedaan pendapat yang signifikan mengenai hal ini. Bahkan, beliau menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak beriman sekalipun mengakui pentingnya menjaga kemuliaan nasab.

Namun, penting untuk diingat bahwa *kafa’ah* bukanlah syarat mutlak yang menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan.

Akan tetapi lebih kepada rekomendasi untuk menjaga keharmonisan dan kesetaraan dalam rumah tangga. 

Dalam Islam, jika ada faktor lain seperti agama dan akhlak yang kuat, pernikahan tersebut tetap dapat dianggap sah dan diberkahi.

Terkait pernikahan syarifah, ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, 

"Jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan kalian). Jika tidak, akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (HR. Tirmidzi, No. 1084).

Hadis ini menegaskan pentingnya agama dan akhlak sebagai pertimbangan utama dalam pernikahan, bukan semata-mata nasab atau status sosial. 

Meskipun menjaga nasab adalah hal yang baik, namun akhlak dan keimanan tetap menjadi prioritas utama.

Selain itu, dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah SWT berfirman, 

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak ditentukan oleh nasab, melainkan oleh ketakwaan.

Pernikahan syarifah dengan orang biasa dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang mutlak dilarang.

Melainkan lebih kepada pertimbangan kafa’ah atau kesesuaian yang dianjurkan untuk menjaga keharmonisan dan kehormatan keluarga. 

Buya Yahya menegaskan bahwa meskipun nasab adalah hal yang penting, akhlak dan agama tetap menjadi yang utama.

Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan pernikahan, baik bagi syarifah maupun bagi siapa pun, penting untuk mengutamakan agama dan akhlak, sambil tetap menghargai tradisi dan kehormatan keluarga. 

Semoga Allah SWT memberikan hikmah dan keberkahan dalam setiap keputusan yang kita ambil. (udn)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
01:54
03:55
05:35
03:29
06:33
02:13
Viral