- Kolase PSSI & AFC
Ribuan Warga Korsel Dukung Timnas Indonesia Vs Jepang Tak hanya Faktor Shin Tae-yong, tapi Juga Sejarah Penindasan Agama
tvOnenews.com - Timnas Indonesia mendapat kabar baik warga Korea Selatan (Korsel) akan mendukung Garuda di bawah asuhan pelatih Shin Tae-yong saat melawan Timnas Jepang.
Kabar warga Korsel akan memberikan dukungan saat kontra Jepang dibenarkan oleh pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong.
Shin Tae-yong mengabarkan sekitar dua ribu warga Korsel siap mendukung langsung Timnas Indonesia.
Laga Timnas Indonesia bertemu Jepang akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Jumat (15/10/2024), Kick Off pukul 19.00 WIB.
Dukungan itu tidak lepas tertuju kepada Shin Tae-yong. Pasalnya, Coach Shin berkebangsaan dari negara Korsel. Sang pelatih pun membantah meski tetap memberikan ucapan terima kasihnya.
"Warga Korea Selatan yang ada di sini akan datang. Saya memberikan apresiasinya itu. Padahal yang akan bertanding ini Timnas Indonesia bukan Timnas Korea Selatan," ungkap Shin Tae-yong di Jakarta Pusat dikutip, Selasa (5/11/2024).
"Mereka percaya Timnas Indonesia bisa lolos ke Piala Dunia 2026, makanya menjadi satu. Itu yang benar-benar saya merasa berterima kasih," sambung dia.
Namun, STY sapaan akrabnya, juga menyampaikan bahwa Jepang tidak ingin kalah dari Timnas Indonesia yang mendapat dukungan secara langsung dari warga Korsel.
"Kalau pendukung Jepang 3 ribu, sebenarnya tidak banyak," katanya.
- tvOnenews.com/Ilham Giovani Pratama
Berdasarkan informasi dari media Korsel, Yonhap, bahwa sosok yang mengoordinasikan warga Korsel mendukung Timnas Indonesia adalah Song Chang-geun, pemimpin sebuah pabriik penghasil sepatu di Indonesia.
"Walaupun secara kekuatan skuad Timnas Indonesia lebih inferior dibandingkan Jepang, tambahan dukungan dari warga Korea Selatan dapat membuat Timnas Indonesia meraih hasil yang di luar perkiraan," ujar Song Chang-geun kepada Yonhap dikutip, Selasa.
Meski demikian, dukungan itu tidak semata kepada Shin Tae-yong yang melatih Timnas Indonesia. Ada sejarah antara Korea-Jepang pada masa penjajahan tak lepas dengan sejarah penindasan agama.
Asal-usul Kristenisasi di Korea
Dilansir dari laman Study, proses Kristenisasi tidak selalu menjadi mayoritas di Korea. Pertama kali, Agama Kristen masuk ke dalam Korea saat Jepang melakukan invasi sejak tahun 1592 sampai 1598.
Kala itu seorang pendeta Katolik bernama Gregorio de Cespedes masuk ke Korea atas pasokan yang didukung oleh pasukan militer dari Jepang. Seorang biksu yang menjabat menteri militer Jepang turut hadir di Korea Selatan.
Sayangnya, orang Korea tidak terlalu dekat memiliki hubungan dengan orang-orang Kristen. Umat Kristen hanya dekat kalangan anak yatim-piatu yang ada di Korea.
Selain anak yatim-piatu, orang Kristen juga hanya dekat dengan tawanan perang dari Korea. Pada abad ke-17 dan ke-18, kedekatan mereka saat tawanan peran baru sampai di bagian semenanjung Korea.
Pada tahun 1392-1897, Dinasti Joseon melakukan penindasan terhadap orang-orang yang menganut agama Kristen Katolik di Korea. Apalagi, mereka hanya dari kalangan bawah dan tidak memiliki kekuasaan apa pun.
Terlebih lagi, utusan diplomatik secara rutin didatangkan ke Tiongkok oleh Dinasti Joseon. Kala itu Yi Gwang-jeong yang merupakan seorang diplomat mendatangi ke Tiongkok. Di sana, ia berhasil menemukan sebuah pemikiran tentang agama Kristen.
Selepas dari Tiongkok, ia tidak lupa menenteng sejumlah buku dari karya misionaris Jesuit Italia saat kembali ke Korea pada 1603. Penulis buku-buku itu adalah sosok Matteo Ricci.
Sang diplomat pun mencoba mengartikan isi dari sejumlah buku yang dibawanya hingga karya Ricci dipublikasikan di Korea. Tetapi, Raja Joseon membuat keputusan larangan terhadap keberadaan agama Katolik pada 1758.
Bagi Raja Joseon, agama Katolik merupakan ancaman hebat untuk agama yang dianut oleh Dinasti Joseon.
Asal-usul Kristen Ditindas di Jepang
Gambaran orang Kristen mendapat siksaan di Jepang dijelaskan oleh William Johnston yang menerjemahkan novel Chinmoku karya Endo Shusaku. Penganiyaan terhadap Kekristenan terjadi pada abad ke-17.
Ada tiga teknik penyiksaan dalam novel itu menjadi sejarah, antara lain adalah anazuri, proses salib menggunakan air, serta air panas untuk penganiayaan.
Saat itu para petani menjadi target penganiyaan hingga mendapat paksaan agar berpaling dari kepercayaannya. Padahal mereka tidak pernah melakukan kejahatan kala awal mula adanya larangan agama Kristen.
Pada tahun 1549, Francis Xavier sampai di sebuah Prefektur Kagoshima tepatnya di Satsuma. Harapannya agar menyebarkan kitab Injil di Jepang.
Namun, seorang paling perang, Oda Nobunaga memiliki tujuan tersendiri. Motifnya menggencarkan pengaruh Buddha meski sempat ada niat memberikan perlindungan kepada umat Kristen. Saat itu, mereka mendapat izin gereja dan seminari dibangun di Kota Kyoto dan Azuchi.
Padahal motif itu hanya melancarkan niat Nobunaga yang juga ingin memperoleh sejata api dan bubuk mesiu.
Kristen pun telah melebar di Jepang yang awalnya sukses berpijak dari utara sampai selatan Hokkaido yang dulunya bernama Matsumae. Kini, aliran kepercayaan itu semakin bertumbuh di Kota Nagasaki.
Dahulu, daimyo Kristen pertama kali dipegang oleh tuan feodal Omura Sumitada setelah menjalani pembaptisan. Pembangunan gereja untuk umat Kristen dan rumah sakit terus berkembang di Nagasaki yang kini menyabet sebutan, yakni "Roma-nya Jepang".
Toyotomi Hideyoshi memegang kekuasaan pasca Nobunaga tiada. Kebetulan, ia sempat memberikan kepeduliannya terhadap agama Kristen. Sebelum berkuasa sampai memberikan umat Kristen membangun sebuah gereja di dekat wilayahnya bernama Kastil Osaka.
Hideyoshi pun mulai memberikan pertentangan terhadap agama Kristen sejak awak kapal Spanyol San Felipe memberikan pernyataan mengejutkan saat kapal itu rusak parah karena angin topan menggamparnya yang memulai pelayaran dari Filipina menuju Meksiko.
Pada akhirnya, insiden terjadi melalui proses penyaliban dan 26 pendeta serta pengikutnya alami kematian di Nagasaki pada 1597.
Dalam Novel Silence karya Endo, periode pendirian Keshogunan Edo dilakukan oleh Tokugawa Ieyasu pada 1603 menjadi cikal bakal keputusan perintah larangan dan pengusiran para misionaris dari Jepang.
Sebagai penganut agama Kristen, Amakusa Shiro mengambil alih sebagai pemimpin pasukan pemberontakan dari para petani dan Shimabara pada 1637.
Peristiwa pemberontakan ini membuat shogun Tokugawa ketiga, Iemitsu memb semakin menguatkan kebijakan larangan terhadap agama Kristen besar-besaran dari bagian barat Jepang.
(hap)