Puji Ajaran Gus Dur Soal Fikih Dakwah, Habib Ja’far: Mampu Berikan Solusi Mudah Bagi Umat.
Sumber :
  • kolase tim tvOnenews

Puji Ajaran Gus Dur Soal Fikih Dakwah, Habib Ja’far: Mampu Berikan Solusi Mudah Bagi Umat

Sabtu, 16 November 2024 - 19:23 WIB

Jakarta, tvOnenews.com - Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al-Hadar (Habib Ja’far) memuji kehebatan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menerapkan ajaran fikih dakwah. 

Menurut Habib Ja’far, Gus Dur berhasil mempraktikkan prinsip dakwah yang menggembirakan, memudahkan, dan mempersatukan.

Bahkan kata Habib Ja’far, Gus Dur dianggap sebagai ikon rahmat bagi semesta atau rahmatan lil alamin, bukan hanya untuk orang baik, tetapi juga bagi mereka yang tengah berusaha menjadi orang baik. 

Dengan wawasan luasnya yang dimilikinya, Habib Ja’far menilai, sosok Gus Dur mampu memberikan solusi yang memudahkan umat.

“Gus Dur sangat cakap dalam fikih dakwah, sangat strategis, dan sangat sadar dengan fikih dakwah,” ujar Habib Ja’far ketika hadiri peringatan Haul ke-15 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Laboratorium Agama Masjid Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada Jumat malam (15/11/2024). 

“Fikih dakwah itu prinsipnya tiga. Pertama menggembirakan, tidak menakut-nakuti. Kedua memudahkan, bukan menyulitkan. Ketiga mempersatukan dan tidak mencerai-beraikan,” sambungnya.

Biografi Gus Dur Sang Guru Bangsa

Gus Dur merupakan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan dijuluki Sang Guru Bangsa.

Setelah Soeharto tumbang, Gus Dur juga sempat menjadi presiden, sebelum dilengserkan secara politis oleh DPR. 

Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur dan memiliki nama asli Abdurrahman Addakhil. 

Gus Dur adalah putra sulung dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Sementara dari pihak Ibu, Gus Dur merupakan cucu dari KH Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur. 

Dari pernikahannya dengan Sinta Nuriyah, Gus Dur dikaruniai empat putri, yaitu Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid alias Yenny Wahid, Alissa Qotrunnada Wahid, Anita Hayatunnufus Wahid, dan Inayah Wulandari Wahid. 

Gus Dur sudah bisa membaca Al-Qur’an sejak usia 5 tahun dan pertama kali belajar mengaji dengan sang kakek, KH Hasyim Asy'ari. 

Setelah lulus sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan.

Di saat yang sama Gus Dur juga ngaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. 

Selesai dari SMEP Gowongan, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun lalu lanjut ke Ponpes Tambakberas Jombang. 

Gus Dur yang sudah naik haji sejak usia 22 tahun itu kemudian dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) pada tahun 1964.

Kemudian Gus Dur melanjutkan studinya ke Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970. 

Tak henti di situ, Gus Dur lalu pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden.

Gus Dur kemudian belajar di Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. 

Setelah kembali ke Jakarta, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat. 

LP3ES kemudian mendirikan majalah Prisma dimana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya.

Saat itulah, Gus Dur sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa hingga menemukan kondisi pesantren yang dimana nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan.

Gus Dur kemudian meneruskan karirnya sebagai jurnalis dengan menulis untuk Tempo dan Kompas. 

Selain aktif sebagai penulis dan pengisi materi, Gus Dur juga mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai pendidik di beberapa tempat.

Meski cucu dari pendiri NU, Gus Dur tak lantas berkiprah di Kepengurusan. 

Setelah sang kakek, KH Bisri Syansuri, membujuknya, barulah Gus Dur menerimanya. 

Sejak 1984, Gus Dur berkiprah di NU hingga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah sampai tahun 2000 atau tiga periode.   

Hingga akhirnya di era reformasi tepatnya tahun 1999, Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI secara demokratis menggantikan Bacharuddin Jusuf Habibie. 

Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4 RI hingga Mei 2001. 

Gus Dur yang dikenal humoris itu meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di usia 69 tahun.

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
03:01
03:04
03:25
10:32
03:33
02:48
Viral