- Istimewa
Perbedaan Nafkah dan Uang Belanja, Buya Yahya Ingatkan Suami yang Belajar Fiqih Agar Tidak Pelit
tvOnenews.com - Setelah menikah artinya suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 34.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ
Artinya: Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. (QS. An Nisa: 34)
Bentuk nafkah tentu ada banyak. Lalu apakah uang belanja termasuk nafkah atau beda?
Berikut penjelasan Buya Yahya mengenai perbedaan nafkah dan uang belanja yang diberikan suami kepada istri.
Pendakwah bernama lengkap Prof. KH.Yahya Zainul Ma'arif itu mengakui memang nafkah dan uang belanja kerap menjadi pemicu dalam kehidupan rumah tangga.
Kemudian, secara rinci, Buya Yahya dalam ceramahnya itu menjelaskan perbedaan antara nafkah dan uang belanja.
“Nafkah itu adalah kewajiban yang Allah bebankan kepada suami untuk istrinya,” ujar Buya Yahya, dikutip dari kanal YouTube Al Bahjah TV pada Rabu (25/12/2024).
Artinya, kata Buya Yahya, seorang suami punya kewajiban mencukupi untuk kebutuhan pribadi yang prinsip dari istrinya.
“Urusan makannya, urusan pakaiannya, urusan tempat tinggalnya, dalam mazhab kita (Syafi’i) sesuai dengan kemampuan seorang laki-laki, dalam mazhab lain sesuai maqomnya sang istri, intinya sesuai dengan kemampuan suami,” tandas Buya Yahya.
Jika dibelikan mobil, pakaian yang banyak serta perawatan, itu bukanlah kewajiban yang disebut nafkah. Melainkan bentuk kasih sayang dari suami kepada istri.
“Beli mobil 3-4 tidak, bentuk kasih sayang jadi sekedar tentang bagaimana dia bertahan hidup dari yang dimakan atau pakaian untuk menutup auratnya, pantas atau tidaknya untuk keluar dari tempat tinggal yang layak. untuk dia yang sesuai dengan kemampuan suami,” jelasnya.
“Selebihnya adalah kebaikan seorang suami, tambahan, dan jangan jadi suami pelit-pelit amat,” lanjut Buya Yahya.
Maka dari itu, Buya kemudian mengingatkan kepada setiap suami yang belajar fiqih untuk tidak pelit kepada istrinya.
“Bahaya juga suami belajar ilmu fiqih, jika istrinya sehari dikasih dua genggam beras,” kata Buya Yahya.
“Keterlaluan itu suami, gara-gara belajar fiqihnya, fiqih tidak pakai akhlak, nggak pakai hati, membaca kitab fiqih bab nafaqah ternyata menjadi pelit kepada istrinya yang penting ini nafaqah,” sambung Buya Yahya.
Hal inilah yang menurut Buya Yahya penyebab munculnya istilah uang belanja di dalam rumah tangga.
“Gara-gara suami pelit muncul pertanyaan mana uang belanja dari situ sebetulnya,” kata Buya Yahya.
Padahal seharusnya kata Buya Yahya tak perlu ada perbedaan antara nafkah dan uang belanja.
"Sebenarnya tidak perlu dibedakan itu semua, seorang suami memberikan kecukupan kepada keluarnya itu kewajiban, jika lebih itu sebuah kemuliaan,” tegas Buya Yahya.
“Di dalam uang belanja tentu ada nafkah. Kalau nafkah ada itung-itungan waduh itu tidak enak,” lanjut Buya Yahya.
Buya Yahya mengingatkan bahwa fiqih sebenarnya digunakan ketika menyelesaikan problem persengketaan.
“Hidup kita bukan level fiqih, hidup kita level tasawuf, akhlak. Kalau pakai level fiqih, jika ketemu seorang laki-laki pelit tidak memberikan nafkah maka fiqih berbicara, kasih keluarkan sekedar memberi makan,” kata Buya Yahya.
Kata Buya Yahya, fiqih berfungsi untuk menegakkan keadilan.
“Kadang istri juga melakukan sesuatu yang lebih dalam tentang rumah tangganya, bukan pekerjaan istri mereka kerjakan,” jelas Buya Yahya.
Buya Yahya lantas mengingatkan bahwa menanak nasi, mencuci baju, bukanlah kewajiban bagi seorang istri.
“Para bapak boleh tersenyum hari ini, tapi kalau senyumnya tidak hati-hati maka menangis besok hari,” kata Buya Yahya sembari mengingatkan.
Namun Buya Yahya mengingatkan juga kepada para istri agar sebaiknya tidak menerapkan sistem tersebut.
“Ada istri mengatakan tidak wajib menanak nasi, ok tidak wajib tapi kamu dapat dua genggam beras, hidup tidak seperti itu wahai istri yang sholehah,” tegas Buya Yahya saat mengingatkan.
“Suami bekerja keras untuk meningkatkan kualitas hidup agar lebih. maka perlu dihargai. “Apa sulitnya menanak nasi? menanak nasi untuk suami, suami yang tercinta kan? kenapa dipermasalahkan,” kata Buya Yahya lebih lanjut.
Hal ini karena jika berbicara fiqih kata Buya Yahya adalah tentang keadilan. Oleh karenanya, di sini seorang istri yang mempunyai peran luar biasa.
“Makanya seorang suami memberikan juga kelebihan sehingga diberikan sepeda, mobil, rumah dibesarkan, baju banyak. Rezeki rumahnya pun digedekan,” kata Buya Yahya.
Jadi kata Buya Yahya, jika bicara fiqih itu untuk jangan sampai orang itu hidupnya tidak lancar.
“Sehingga kalau ada seorang istri tidak diberi nafkah sama suami berhak dia minta cerai, baik suami dalam keadaan kaya pelit atau memang fakir yang sesungguhnya,” ujar Buya Yahya.
Hal ini karena nafkah adalah kewajiban seorang suami kepada istri.
“Sebab urusan yang harus pakai baju, makan seperti itu. jadi nafkah itu adalah, mencukupi kebutuhan pribadinya dan juga kebutuhan anak-anaknya,” tegas Buya Yahya.
Jika lebih dari itu, kata Buya Yahya adalah hadiah atau kebaikan dari seorang suami.
“Maka belanja yang diberikan itu adalah secukupnya. Jadi nafkah selebihnya adalah kebaikan seorang suami yang tidak usah dipilah-pilah, itu istri pelit. Suami juga jangan pelit-pelit,” tandas Buya Yahya.
Itulah penjelasan mengenai perbedaan nafkah dan uang belanja.
Disarankan menanyakan langsung kepada Ulama atau Ahli Agama Islam agar mendapatkan pemahaman lebih dalam.
Wallahu’alam
(put)