- tim tvOne
Ramadhan dan Dua Pesan Pentingnya
Ibnu Hajar al-Asqalani (Fathul Bari Sarh Sahih al-Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115), selain mengutip makna tersebut, juga menyampaikan pendapat al-Khaththâbi tentang iḫtisâban, yang isinya yaitu:
اِحْتِسَابًا أَيْ عَزِيْمَةٌ وَهُوَأَنْ يَصُوْمَهُ عَلَى مَعْنَى الرُّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ طَيِّبَةِ نَفْسِهِ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِلٍ لِصِيِامِهِ وَلَا مُسْتَطِيْلٍ لِأَيَّامِهِ
Artinya, “Iḫtisâb itu berarti tekad yang kuat, yakni seseorang berpuasa atas dasar kecintaannya pada pahala yang terkandung di dalam puasa Ramadhan, (juga atas dasar) kebaikan dirinya dengan tanpa merasa terbebani atas puasa dan tak merasa terlalu panjang hari-hari puasanya.”
Ihtisâb melatih kita untuk melakukan ibadah dengan ringan hati dan perasaan syukur. Syukur atas karunia dan kandungan yang ada di dalam bulan Ramadhan, dan syukur atas takdir Allah yang memberikan kita kesempatan untuk menjalani ibadah puasa.
Ihtisâb juga menjadikan kita semakin menyadari bahwa pengharapan atas apresiasi dan pahala puasa kita mesti tetap dan selalu bersandar pada Allah, wa yanwî bi shiyâmihî wajhallâh (seseorang hendaklah berniat karena Allah atas puasa yang dilakukan), kata Ibnu Baththâl. Bukan bersandar atas apresiasi pimpinan, keluarga, kolega, atau tetangga, yang justru bisa menjadikan kualitas ibadah kita menurun. Dari sini kita semakin memahami makna hadits Qudsi bahwa “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku yang akan memberi balasan” (al-Bukhari nomor 1894, Muslim nomor 2764).
Kedua pesan penting ini amatlah perlu untuk selalu diselaraskan dan direfleksikan kembali dalam setiap rutinitas amal ibadah sehari-hari, terutama terkait dengan puasa di Bulan Ramadhan.(put)