Ilustrasi hibah.
Sumber :
  • indonesiare.co.id

Mengenal Keutamaan Hibah dalam Islam

Rabu, 27 April 2022 - 11:31 WIB

Hibah dalam Islam adalah sedekah dengan memberikan suatu harta untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Hibah dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Keutamaan hibah adalah terjalinnya rasa kasih sayang antara yang memberi dan diberi. Biasanya harta yang dihibahkan merupakan suatu yang besar sehingga memperlukan perhatian khusus. Lalu apakah sajakah ketentuan dalam hibah jika ditinjau dari aspek syariat?

Majelis Tarjih memfatwakan terkait dengan masalah hibah bahwa hibah merupakan suatu persembahan tanpa ada sebab atau musababnya dan atau tanpa ada prestasi dari pihak penerima. Pemberian itu berlangsung ketika pemberi masih hidup.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku II Bab I Pasal 171 butir g juga dijelaskan bahwa hibah adalah mempersembahkan suatu benda secara sukarela tanpa ketidakseimbangan dari seorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Hibah memang diberi tuntunannya dalam agama Islam, karena hibah dapat menciptakan kerukunan dan mempererat rasa kasih sayang antar umat manusia. Anjuran untuk melakukannya antara lain:

1. Hadits riwayat al-Baihaqi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَهَادَوْا تَحبابُّويا

Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Baihaqi)

2. Hadits riwayat Ahmad dan ath-Thabrani:

عن خالد بن عدي الجهني رضي الله عنه: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من بلغه معروف من أخيه من غير مسألة, ولا إسراف فليقبله, ولا يرده, فإنما هو رزق ساقه الله إليه (رواه أحمد والطبراني)

Artinya : “Diriwayatkan dari Khalid bin ‘Adi al-Juhaniy radhiyallahu’ anhu aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa mendapatkan, dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapan dan tidak berlebih-lebihan , maka ia menerimanya dan tidak karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. ” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani)

Hibah merupakan akad muamalah yang memiliki syarat-syarat tertentu yakni:

1. Harta yang dihibahkan sudah ada jika dilakukan hibah

2. Harta yang dihibahkan berasal dari milik penghibah

3. Harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui

4. Pelaku harus sehat jiwa / akalnya dan sudah dewasa

5. Hibah menjadi batal bila dilakukan dengan paksaan. Ijab dan kabul akan dilakukan dengan lisan, tulisan, dan perbuatan.

Sesuatu jika telah dihibahkan maka tidak boleh dijual lagi oleh penghibahnya. Namun terdapat pengecualian untuk hibah orang tua kepada anaknya, di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dibahas tentang kebolehan hibah ditarik, hal tersebut diatur dalam pasal 212 yang berbunyi “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya”. Pada pasal ini izin bahwa orang tua berhak kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya.

Hibah sebaiknya dibuatkan surat hibah yang jelas karena kejadian ini adalah sesuatu yang penting dan dapat mendatangkan kesalahpahaman jika tidak jelas. Hal ini dituntunkan syariat dalam Al - Quran surah Al-Baqarah ayat 282.

Jangan sampai hibah menjadi masalah di kemudian hari karena ketidakjelasannya sehingga harus berujung dengan menerapkan jalur hukum. Hibah seharusnya mendatangkan kasih sayang seperti apa yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits di atas, sungguh ironis jika yang terjadi kemudian adalah lahirnya perselisihan dan putusnya silaturrahim.

Beda Hibah dan Gratifikasi / Suap

Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan bahwa hibah merupakan sebuah pemberian tanpa sebab maupun musabab atau tanpa adanya prestasi dari penerima atau niatan tertentu selain karena Allah dari pemberi.
Definisi ini sangat jelas untuk membedakan mana yang hibah dan mana yang gratifikasi atau suap atau pemberian dengan niatan tertentu.

Praktik suap atau gratifikasi ini di sisi lain adalah jelas - jelas berada di wilayah yang masuk dalam kategori kriminalitas. Oleh karena itu sebagai penerima, terutama bagi yang mempunyai jabatan dan wewenang penting, sangat dianjurkan untuk mencari tahu sumber harta si pemberi.

Jika setelah diselidiki memang lebih mendekati kasus penyuapan,maka sebaiknya kita jangan menerima pemberian itu, mengembalikannya kepada pemberi, atau jika memungkinkan ada pilihan lain seperti melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Selain itu selama kecurigaan kita belum hilang, sebaiknya kita jangan menggunakan (baik kita manfaatkan sendiri atau kita berikan kepada orang lain) pemberian tersebut.

Harta haram yang diambil tanpa kerelaan pemilik yang asli, tidak saling ridha, statusnya tetap haram, meskipun berpindah ke tangan orang lain, baik diberikan dalam bentuk hadiah atau hibah. Sebagian ulama menjelaskan dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

Ibnu Hajar mengatakan;

دَلَّ قَوْلُهُ لاَ تُقْبَلُ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ أَنَّ الْغَالَّ لاَ تَبْرَأُ ذِمَّتُهُ إِلاَّ بِرَدِّ الْغُلُولِ إِلَى أَصْحَابِهِ بِأَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ إِذَا جَهِلَهُمْ مَثَلاً وَالسَّبَبُ فِيهِ أَنَّهُ مِنْ حَقِّ الْغَانِمِينَ فَلَوْ جُهِلَتْ أَعْيَانُهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى غَيْرِهِمْ.

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘sedekah tidak diterima karena hasil korupsi’ menunjukkan bahwa orang yang korupsi tidak bisa lepas dari tanggung jawab kecuali dengan mengembalikan harta korupsi itu kepada pemiliknya, bukan dengan mensedekahkannya ketika tidak mengetahui siapa pemiliknya. Sebabnya adalah bahwa harta itu masih milik al-Ghanimin (pasukan perang yang mendapat ghanimah, pemilik asli), sekalipun pemilik asli tidak diketahui, tidak boleh bagi koruptor untuk manyalurkan uang itu dengan mensedekahkannya kepada orang lain.” (Fath al-Bari: III: 278)

Wallahu a’lam bish-shawab. (afr)

Berita Terkait :
Topik Terkait
Saksikan Juga
11:12
01:42
08:26
02:22
03:19
05:01
Viral