- iStockPhoto/Minet Zahirovic
Waspada! Berikut Hal-hal yang Menyebabkan Pernikahan Menjadi Tidak Sah Menurut 4 Imam Mazhab
tvOnenews - Para ulama bersepakat terkait pernikahan, menjadi hal yang disyariatkan. Menikah juga disebut sebagai ibadah yang menyempurnakan separuh agama, sejalan dengan hadis dari Anas bin Malik RA Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika seseorang telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.”
Namun apa jadinya jika pernikahan yang kita laksanakan dengan khidmat, justru tidak sah atau batal hukumnya? Dirangkum dari buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, berikut kondisi pernikahan menjadi tidak sah menurut 4 Imam Mazhab.
1. Pernikahan yang tidak sah menurut Ulama Syafi'iah
img: Freepik/vershinin89
Pernikahan yang batal merupakan pernikahan yang tidak sempurna rukunnya. Sedangkan pernikahan yang fasid (rusak) adalah pernikahan yang tidak sempurna syaratnya dan terdapat cacat setelah terlaksana.
Terkait hal tersebut, ulama Syafi'iah menilai hukum keduanya sama. Dimana salah satu dari kedua jenis pernikahan tersebut tidak melaksanakan rukun-rukun pernikahan yang sah.
Sehingga, tidak diwajibkan adanya mahar nafkah, tidak ada hubungan mahram sebab mushaharah (besanan), penetapan nasab dan iddah. Banyak kondisi yang menyebabkan pernikahan menjadi tidak sah. Namun yang utama ada 9 macam:
- Nikah syighar, seperti mengatakan, 'Aku nikahkan kamu dengan putriku, dengan syarat kamu menikahkanku dengan putrimu.
- Nikah mut'ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu.
- Nikah orang yang sedang berihram. Pernikahan tidaklah sah ketika salah satu dari pelaku akad atau calon istri sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah atau dua-duanya;
- Poliandri; yaitu dua orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua lelaki dan tidak diketahui secara jelas siapa di antara keduanya yang paling duluan.
- Pernikahan mu'taddah (perempuan yang sedang iddah) dan perempuan yang sedang istibraa', sekalipun dari wath'u syubhat.
- Nikah wanita yang ragu dengan kehamilannya sebelum habis masa iddahnya.
- Nikah seorang muslim dengan perempuan kafir, selain dari ahli kitab, seperti penyembah berhala majusi, penyembah matahari atau bulan, murtaddah.
- Perempuan yang suka pindah-pindah agama.
- Pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki kafir dan pernikahan perempuan murtad.
2. Pernikahan yang tidak sah menurut Ulama Hanafiah
img: Freepik
Hukum pernikahan yang batil (tidak sah) adalah, ketika tidak mengakibatkan konsekuensi apapun dari pengaruh-pengaruh pernikahan yang sah. Akibatnya, laki-laki haram menggauli si perempuan, serta tidak wajib membayar mahar memberi nafkah dan ketaatan dari si perempuan.
Demikian juga, keduanya tidak dapat saling mewarisi ataupun hubungan mushaharah (besanan). Tidak boleh terjadi hubungan intim di antara mereka keduanya.
Jika hal tersebut terjadi, maka hakim berhak memisahkan keduanya secara paksa. Kemudian tidak ada masa iddah setelah berpisahnya seperti halnya pernikahan yang mauquf (ditunda) sebelum dapat persetujuan.
Contoh pernikahan yang tidak sah, yang cacat di dalam rukun atau salah satu syarat pelaksanaannya, antara lain,
- Pernikahan anak kecil yang belum mumayyiz
- Pernikahan dengan ungkapan yang menunjukkan ke masa yang akan datang.
- Pernikahan dengan mahram, seperti saudara perempuannya dan bibinya, menurut pendapat yang kuat.
- Pernikahan seorang perempuan yang sudah menikah dengan seorang lelaki lain, dengan syarat telah diketahui bahwa perempuan tersebut telah menikah.
- Pernikahan seorang perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim.
- Pernikahan seorang muslim dengan perempuan selain Ahli Kitab, seperti majusi atau atheis dan lain sebagainya.
3. Pernikahan yang tidak sah dan menurut Ulama Malikiah
img: Freepik/freepik.diller
Pernikahan yang tidak sah atau cacat menurut ulama Malikiah adalah pernikahan yang terjadi karena rusak (cacat) dalam salah satu rukun atau dalam salah satu syarat sahnya nikah. Yang terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Pernikahan yang disepakati para ahli fikih akan kerusakannya, seperti menikahi salah satu mahram dari satu keturunan atau dari satu tempat penyusuan atau ikatan besanan.
Kedua: Pernikahan yang diperselisihkan para ahli fikih akan kerusakannya, yaitu pernikahan yang dianggap rusak oleh ulama Malikiah dan dianggap sah menurut sebagian ahli fikih, dengan syarat perselisihannya (dianggap) berat, seperti pernikahan orang yang sakit, dalam hal ini tidak diperbolehkan.
Menurut pendapat yang masyhur dari kalangan Malikiah. Namun, jika perbedaan pendapat itu ringan seperti pernikahan mut'ah atau menikahi istri yang kelima, maka secara sepakat mereka mengatakan rusak nikahnya.
4. Pernikahan yang rusak menurut Ulama Hanabilah
img: Freepik/freepik.diller
Pertama: Pernikahan yang tidak sah dari asalnya, yaitu ada empat akad:
- Nikah syighar, yaitu seorang wali menikahkan perempuan yang ada dalam tanggung jawabnya dengan seorang lelaki, dengan syarat lelaki tersebut mau menikahkannya dengan perempuan yang ada dalam tanggung jawab kewaliannya juga, tanpa ada mahar.
- Nikah muhallil, yaitu seorang lelaki menikahi perempuan dengan syarat ketika telah menggaulinya maka ia akan menceraikannya, atau tidak ada lagi ikatan pernikahan antara keduanya.
- Nikah mut'ah, yaitu seorang lelaki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertentu, memberikan syarat untuk menceraikannya pada waktu tertentu atau berniat di dalam hatinya untuk menceraikan pada jangka waktu tertentu.
- Nikah mu'allaq (bersyarat), yaitu seperti mengatakan, “Aku menikahkanmu jika datang awal bulan, atau jika ibunya meridhai, atau jika istriku melahirkan anak perempuan maka aku nikahkan kamu dengannya."
Kedua: Pernikahan sah tanpa ada syarat Seperti halnya jika mensyaratkan tanpa mahar atau nafkah, atau agar sang suami membagi jatah kepada istri tersebut lebih banyak atau lebih sedikit daripada istri-istri yang lainnya.
Atau jika kedua atau salah satunya mensyaratkan tanpa adanya hubungan intim atau faktor-faktor yang menyebabkannya. Atau mensyaratkan seorang istri memberi suami sesuatu atau memberi nafkah kepadanya, atau jika ia menceraikannya maka ia harus mengembalikan barang pemberian tersebut. (Mzn)
Sumber: buku “Fiqhul Islam Wa Adillatuhu - jilid 9” karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili