- tvonenews
Kisah Matheos Berhitu, Juara Dunia Ultra Marathon Asal Ambon dan Harapannya kepada Negara
Ambon, Maluku – Berapa sedikit orang mampu berlari berhari-hari, menjejak ribuan kilometer? Matheos Berhitu melintasi kisah berliku, sepi apresiasi meski mengharum nama bangsa.
Suatu siang, Jumat (01/09/2022), Matheos Berhitu menonton acara pada stasiun televisi swasta nasional. Matanya tak berkedip. Keningnya berkerut. Wajahnya sedikit memerah saat menonton berita selebriti yang menampilkan Farel Prayoga yang penampilannya menghebohkan hampir sejagat Bumi Indonesia.
Si lelaki dengan hidung mancung, Matheos Berhitu, menyimak. Dengan lagunya yang berjudul “Ojo Dibandingke”, penampilan Farel pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2022 membuat sang Presiden bersama para menteri ikut berjoget. Penampilan yang menyita perhatian Kepala Negara dan para pembantunya berujung dengan pemberian sejumlah hadiah dan penghargaan.
Seluruh stasiun televisi serta channel youtube dan media sosial ikut menayangkan aksi dari penyanyi cilik asal Banyuwangi. Kening Matheos sedikit berkerut setelah melihat seorang menteri memberi penghargaan kepada Farel.
Kepalanya sedikit menggeleng. Sambil tangannya mengusap-usap rambutnya. Matheos bilang Farel begitu beruntung karena bisa mendapat penghargaan dari seluruh pejabat. “Itu adalah rezeki, sudah garis tangan anak,” kata juara dunia lari ultra marathon.
Berlari Menjelajah Malaysia
Matheos Berhitu, pelari jarak jauh atau Ultra Marathon asal Maluku, mampu mengibarkan sang Merah-Putih di Tanah Jiran Malaysia, Desember 2021. Ia menjadi manusia tercepat dan terlama dengan memecahkan rekor dunia yang sudah bertahan 19 tahun, dalam kejuaraan berjarak 2.243 kilometer.
Mengandalkan kekuatan dan kecepatan kaki, pria kelahiran 04 Desember 1972 memulai karier sebagai atlet lari jarak pendek (sprinter) sejak usia 15 tahun. Ia menekuni lari 100-400 meter sembari menekuni pekerjaan sebagai sopir angkutan kota untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Setelah beberapa kali mengalami kegagalan, Matheos mulai jadi juara kejuaraan ultramarathon dengan jarak 69 kilometer di Sulawesi Tenggara pada 2014, hingga ia mampu jadi pemenang lomba dengan jarak lebih jauh, 100 kilometer di Jakarta pada 2017.
Supir Angkot dan Pelari Malam
Sejak bergabung Run for Indonesia, ia memilih untuk menekuni lari jarak jauh puluhan kilometer hingga menjuarai satu demi satu event lari marathon nasional bahkan internasional. Theo, panggilannya, memanfaatkan jalan raya untuk mengasah kekuatannya.
Bahkan saat kendaraannya sepi tanpa penumpang, Matheos memarkir angkotnya di Bandara Pattimura. Ia lalu berlari mengelilingi Ambon dan kembali ke titik awal sebelum memulangkan mobil ke rumah majikan. Ayah empat anak kemudian berlari lagi, bahkan kadang sampai semalam suntuk.
Pada 2018, stasiun televisi nasional menawari ia untuk mengikuti lari Ultra Marathon dengan jarak tempuh 320 kilometer di Kota Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
“Sebenarnya beta belum biasa. Tapi karena tekad, beta pun menyanggupi. Tapi ada hal yang membuat beta agak canggung, yaitu dari sisi finansial. Memang komunitas sudah berjanji membantu namun namanya juga manusia ada rasa malu,” ungkap Matheos.
“Dari Kota Ambon, dengan modal nekat, saya tanggung sendiri biaya makan dan minum,” ujar Matheos yang membeli kostum dan sepasang sepatu lari dengan harga Rp200 ribu di pasar tradisional Mardika.
Keberhasilan Matheos Berhitu menjadi juara terdengar sampai kantor Walikota Ambon, Richard Louhenapessy. Apresiasi mengalir. Theo bersemangat mengikuti kejuaraan lari paling ekstrem dan terpanjang di dunia, 2.243 kilometer.
Berpacu dengan Gajah-gajah Liar
Seolah mengitari Semenanjung Malaysia, Matheos berlari selama satu bulan penuh, dari 01 hingga 30 Desember 2021. Sesuai ketentuan penyelenggara, setiap hari pelari menempuh jarak 72-80 kilometer, untuk mengantisipasi agar tidak berlari pada malam di daerah yang dipenuhi bintang buas.
“Saat melintasi perbatasan Malaysia dan Thailand, sekawanan gajah mengejar beta sampai sejauh satu kilometer,” ungkap Matheos yang kemudian melakukan aksi patriotis sewaktu mendekati garis finish.
Dalam video amatir di akun youtube Sonora FM Bangka, Matheos berlari seorang diri, tanpa ada pelari lain di belakang, kecuali beberapa petugas menggunakan motor patroli milik polisi Malaysia. Satu meter menjelang finish, ia membentangkan bendera merah-putih di jalan kota Kuala Lumpur.
“Saya menangis… karena berhasil pecahkan rekor dunia lari terjauh dan terlama di dunia,” ujar Matheos bangga, mengingat puncak prestasi dari lebih 30 event yang ia pernah rajai.
Cinta Mati Indonesia
Namun mengenang sukses di Malaysia, Matheos pun bertutur sedih: “Saya kecewa pada Pemerintah Pusat. Saya mengibarkan bendera Merah-Putih di Negeri Jiran tapi tak satu pun pejabat yang peduli.”
Bukan membandingkan dengan rekan atlet lari jarak lebih pendek, atau pemanjat tiang bendera yang seolah jadi pahlawan, penyanyi yang hanya berdiri dan menari di panggung mendapat perhatian serius, namun ia melihat olahraga yang merupakan primadona dunia justru sunyi dan tidak mendapat tempat.
“Saya tidak membandingkan, namun setidaknya ada perhatian pemerintah pusat karena sebenarnya saya ini sudah ditawari untuk pindah warga negara lain, namun saya tetap berprinsip bahwa Indonesia harga mati,” tegas suami Vien Tahapary.
Indonesia selalu merayakan 09 September sebagai Hari Olahraga Nasional. Sambil berharap sedikit akan mendapat perhatian pemerintah, Matheos Berhitu tetap berlatih untuk mewakili Indonesia pada kejuaraan lari Ultra Marathon di kawasan Pegunungan Himalaya, Oktober 2022. (ris/raw)