“Masalah pokoknya ada beberapa. Pertama adalah norma. Kedua adalah problem penguatan komitmen negara. Kemudian, problem jaminan arah pengembangan UMKM melalui Lembaga Penjaminan. Kemudian, problem teknologi dan pemanfaatan jaringan IT dalam pemasaran produk,” katanya mengenai masalah utama UMKM melalui lembaga penjaminan.
Sebab, Prof. Zaenal menambahkan, lembaga penjaminan mengalami berbagai kendala, misalnya kendala pengaturan, keterbatasan aspek permodalan, mitigasi risiko, dan infrastruktur UMKM.
Tim ahli RUU Penjaminan lainnya, Dr. Rusli Simanjuntak, menjelaskan tentang ruang lingkup perubahan RUU Penjaminan. Salah satunya ialah pada pasal 18 agar dapat berubah menjadi “Otoritas Jasa Keuangan harus mememberitahu pemohon mengenai lengkap tidaknya permohonan izin usaha yang diajukan selambat-lambatnya dalam 15 (lima belas) hari kerja setelah Otoritas Jasa Keuangan menerima permohonan izin usaha”.
“Alasannya, selama ini OJK bisa tidak memberikan jawaban atas permohonan izin usaha dari para pelaku,” jelasnya.
Dr. Ardito Bhinadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN “Veteran” Yogyakarta, menyampaikan masukannya dalam penelitian empirik ini. Menurutnya, terkait siapa yang diuntungkan dengan adanya lembaga penjaminan kredit, “Sebenarnya semua diuntungkan, baik UMKMK maupun lembaga keuangan” terangnya.
Oleh karena itu, beliau mengusulkan agar penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah kepada anggotanya.
Dr. Murti Lestari, dosen Fakultas Bisnis UKDW, menyampaikan sejumlah isu yang terkait dengan penjaminan. Diantaranya ialah permasalahan lembaga penjaminan dan karakter UMKM. Dengan beragam masalah dan karakteristik tersebut, menurutnya, “Potensi lembaga penjaminan perlu pembagian sesuai skala usaha. Misalnya, lembaga penjaminan untuk usaha mikro di bawah pemerintah daerah. Usaha kecil dilayani lembaga penjaminan swasta. Usaha menengah dilayani lembaga penjaminan skala nasional dan BUMN. Namun, hal ini tidak perlu diatur secara rigid agar konsumen maupun pelaku usaha dibebaskan sesuai mekanisme pasar”.
Load more