Jakarta, tvOnenews.com - Majelis Hakim PN Jakbar menyatakan bahwa Teddy Minahasa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar tindak pidana Pasal 114 ayat 2 UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkoba.
"Hal-hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa mengabdi kepada negara di Institusi Polri selama lebih kurang 30 tahun, dan terdakwa banyak mendapat penghargaan dari negara," kata hakim, Selasa (10/5/2023).
Putusan majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Teddy Minahasa dihukum mati terkait perkara narkoba.
Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan, POLTEKIP Kemenkumham, Reza Indragiri Amriel menyoroti putusan hakim tersebut.
Menurutnya, narkoba memang masalah serius dan ia mendukung hukuman mati bagi pengedar.
“Pengedar, jangankan seumur hidup, saya setuju hukuman mati. Apalagi jika pelakunya adalah aparat penegak hukum,” kata Reza sebagaimana dalam keterangannya yang diterima oleh tvOnenews pada Rabu (10/5/2023).
Namun Reza tetap menghormati putusan hakim yang telah diberikan pada Selasa (10/5/2023).
“Saya melihat ada sejumlah loopholes dalam putusan hakim, terutama amat-sangat mengandalkan keterangan saksi. Saksi yang sekaligus merupakan terdakwa. Yakni DP (Doddy Prawiranegara,” katanya.
Menurutnya, dengan status ganda tersebut, Doddy akan mengedepankan keterangan yang menguntungkan dirinya.
“Sebagaimana saya katakan beberapa waktu lalu, keterangan saksi adalah barang yang paling potensial merusak proses pengungkapan kebenaran dan proses persidangan,” tandas Reza.
oleh karena itu, jika Teddy Minahasa mengajukan banding, Reza berharap putusan hakim pengadilan tinggi nantinya akan lebih bersandar pada pembuktian.
“Sebagaimana sorotan saya terhadap coretan tangan JPU di naskah tuntutannya, hakim mengamini tuntutan jaksa bahwa TM tidak menyuruh melakukan. TM dinilai hakim turut serta bersama DP,” ujar Reza.
Dengan posisi setara, karena TM dihukum seumur hidup, maka boleh jadi DP juga akan dihukum seumur hidup jika divonis bersalah.
Namun Reza perlu mengatakan bahwa perlu penjelasan dari Polri mengenai beberapa hal, seperti soal tawas.
“Tawas, yang katanya dipakai sebagai pengganti sabu, itu sekarang di mana? Sabu di Jakarta otentik dengan sabu di Bukittinggi? Kalau beda, berarti bukan hasil penyisihan. Lantas, dari mana sabu itu?” kata Reza.
Kemudian Reza juga mempertanyakan apakah Doddy Prawiranegara menjalani pemeriksaan urin dan jika iya apa hasilnya.
“Perkataan Direktur dan Wakil Direktur Resnarkoba Polda Metro Jaya bahwa mereka sebatas melaksanakan pimpinan. Dari sisi pidana, bukankah itu mengarah ke wrongful conviction atau kriminalisasi terhadap TM?,” ujar Reza.
Dari sisi organisasi kepolisian, itu patut dikhawatirkan sebagai perang bintang yang destruktif (dysfunctional).
“Ada riset di kepolisian. Respondennya adalah ratusan anggota polisi. Responden sebut bahwa sub-sub grup di internal kepolisian sudah mencapai level berbahaya sehingga patut dilarang,” ujarnya.
Hal ini menjadi pengakuan bahwa klik-klik di institusi kepolisian memang ada.
“Tinggal lagi perlu dibedakan mana perang bintang yang fungsional dan mana yang disfungsional,” tandas Reza.
Rivalitas fungsional membuat organisasi menjadi dinamis progresif dan personel menjadi berpola pikir transformatif.
“Sedangkan perang bintang yang disfungsional akan membuat organisasi statis bahkan regresif, dan personel polisi menjadi agresif bahkan kanibal. Aksi saling sabotase menjadi salah satu bentuknya,”.
Sementara, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kejari Jakbar) Iwan Ginting mengatakan putusan tersebut mesti dihormati.
Menurut dia, pihaknya masih akan mengadakan rapat guna menindaklanjuti putusan tersebut. Namun, Iwan mengatakan jaksa belum akan melayangkan banding terkait vonis tersebut.
"Kita masih pikir-pikir (banding), ya," kata Iwan.
Sebagai informasi, hari ini, Rabu (10/5/2023), Pengadilan Negeri Jakarta Barat akan menggelar sidang vonis perkara peredaran narkoba dengan terdakwa AKBP Dody Prawiranegara. Dody dikabarkan sempat sakit sebelum sidang.(put)
Load more