Jakarta, tvOnenews.com-14 Mei 1998 Jakarta seperti ladang jerami terbakar. Asap tebal membumbung hampir di seluruh penjuru kota. Penjarahan terjadi di sejumlah pertokoan. Sejumlah mobil, motor yang ringsek dan hangus memenuhi badan jalan di sepanjang Glodok ke arah Senen. Huru Hara besar menghanguskan Jakarta setelah 4 mahasiswa Trisakti tertembak dalam demonstrasi di depan kampus di Grogol, Jakarta Barat.
Massa yang berkumpul dipantau dari udara sangat besar, diperkirakan satu juta orang. Saat itu hampir seluruh Jakarta terbakar amuk. Dari kawasan Glodok massa bergerak merusak sentra sentra komersial di Mangga Dua dan Ancol. Di Jakarta Selatan, pecah pula penjarahan di toko serba ada Goro di Pasar Minggu. Di Jakarta Barat, massa menyebar ke Jalan Hayam Wuruk dan Salemba, Jakarta Pusat. Amarah juga pecah di Bekasi dan Tangerang.
Panglima Kostrad Prabowo Subianto saat itu mengaku telah mencium gelagat kejatuhan rezim Presiden ke-2 Soeharto. "Kejatuhan rezim diperlukan martir. Bung Karno jatuh setelah ada yang menjadi martir. Begitu terjadi insiden di Trisakti, saya langsung memiliki firasat keadaan bakal memuncak dan akan mejadi the end of Soeharto's regime," ujar Prabowo pada Majalah Tempo.
Seperti dikutip Majalah Mingguan Tempo, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Jenderal Hamami Nata mengaku polisi kerepotan mengendalikan situasi. Polisi yang diterjunkan memang cukup banyak, sekitar 110 satuan setingkat kompi (SSK), sekitar 12 ribu dari personel dari total 17 ribu yang ada. Tapi, tewasnya 4 mahasiswa Trisakti membuat massa melampiaskan amarahnya pada polisi. Di Salemba Raya terjadi razia massa pada korp baju coklat, ada sekitar 22 markas polisi yang dirusak.
Ketika eskalasi kian memuncak, pengendalian situasi diambil alih oleh Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie juga mengaku kewalahan karena skala amuk yang terjadi hampir di seluruh penjuru kota. Tentara tak bisa mengamankan daerah pemukiman, tapi hanya menjaga obyek vital ekonomi dan Istana.
Anehnya, ketika Jakarta dikepung rusuh, Panglima ABRI dan petinggi militer lainnya justru berada di Malang, Jawa Timur. Wiranto beserta jajarannya menghadiri serah terima Komando Pengendalian Pasukan Pengendali Reaksi Cepat. Wiranto menyebut ia diminta Prabowo untuk memimpin upacara itu secara langsung. Pada Majalah Tempo, Prabowo justru menyebut meminta acara itu dibatalkan. Prabowo mengaku menelepon Wiranto agar acara di Malang dibatalkan. Namun, pada akhirnya semua elit militer tetap berangkat ke Malang.
Rusuh membuat acara di Malang dipercepat dari seharusnya. Prabowo kembali pada 14 Mei 1998 sore dan langsung menggunakan helikopter ke Markas Kostrad. Dari udara Prabowo memantau asap tebal sisa kerusuhan mengepul di mana mana. Sesampai Markas Kostrad, Prabowo diajak Sjafrie Sjamsoeddin patroli keliling Jakarta menggunakan heli.
Load more