Presiden Indonesia Joko Widodo, kendati demikian, memberikan grasi yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada Merri Utami, seorang perempuan yang telah memiliki cucu dan mantan pekerja rumah tangga yang menerima vonis hukuman mati karena kasus narkoba pada tahun 2002.
Pada 29 Juli 2016, eksekusi atas Merri tidak jadi dilaksanakan pada menit-menit akhir, dan beberapa hari sebelumnya dia mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Merri tetap berstatus terpidana mati hingga akhirnya menerima grasi Jokowi pada 13 Maret 2023.
“Keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan pengampunan kepada Merri Utami dan meringankan hukumannya setelah menghabiskan lebih dari 20 tahun menunggu eksekusi mati harus menjadi momen penting bagi Indonesia. Pihak berwenang harus mengikuti tindakan tersebut dengan meringankan hukuman bagi semua terpidana hukuman mati yang masih menunggu eksekusi dalam kondisi yang memprihatinkan,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia yang baru diadopsi, yang akan mulai berlaku pada tahun 2026, juga memberlakukan kemungkinan keringanan hukuman setelah jangka waktu sepuluh tahun jika terpidana hukuman mati tetap berperilaku baik sesuai aturan yang berlaku.
“Setelah mereformasi KUHP, Indonesia tidak boleh melewatkan kesempatan ini untuk secara signifikan mengurangi pemberlakuan hukuman mati setelah bertahun-tahun mencapai angka yang sangat tinggi."
Namun langkah ini masih belum cukup. Sudah saatnya pemerintah untuk mengumumkan moratorium resmi eksekusi mati dan sepenuhnya menghapus hukuman mati, demi mengakhiri penderitaan setidaknya 452 terpidana hukuman mati, yang sering menderita dalam isolasi selama bertahun-tahun, bahkan ada yang hingga puluhan tahun,” kata Usman Hamid.
Meningkatnya eksekusi di kawasan
Load more