tvOnenews- Kebangkitan nasional yang menandai zaman baru Indonesia dihuni pribadi pemberang semacam Cipto Mangunkusumo.
Pada usia 23 tahun, ia dengan percaya diri memacu delmannya masuk ke alun alun Keraton Surakarta, tempat ada larangan bagi selain Sunan dan pangeran mengendarai apapun di wilayah itu. Tentu Sunan marah, tapi tak bisa berbuat banyak. Saat itu Cipto sudah menjadi kelas terpandang, dokter bumiputera lulusan sekolah dokter Jawa, Stovia.
Apalagi dua tahun sebelumnya ia menulis artikel menyerang budaya feodal dengan sangat keras.di koran De Locomotief. Dalam tulisannya ia menolak jabatan bupati diwariskan turun temurun. Bagi Cipto, orang modern ditentukan oleh kemampuan dan dan pengetahuan, bukan keturunan.
Kebenciannya pada “tata-krama”, “unggah ungguh” seperti berurat berakar. Pembangkangan Cipto pada feodalisme tak hanya sekali itu. Dalam kata katanya lewat sebuah surat ia pernah menulis kritik pada sikap orang Jawa, yang menurut Cipto terlalu banyak berkata: “ya dan “amin”.
Dalam buku Takashi Shiraishi yang diterjemahkan Hilmar Farid dengan apik: Zaman Bergerak–yang menyoal akar radikalisme di tanah Jawa antara 1912-1926, Cipto menyebut orang Jawa telah kehilangan sikap mandiri dan teguh. Akibatnya, terjadi kemerosotan moral di kalangan orang Jawa.
Cipto juga menolak tampil seperti bangsawan Jawa. Ia jarang menggunakan kepala terbungkus mondholan. Rambutnya kerap ia biarkan terurai keluar dari songkoknya. Sebagai dokter Ia lebih kerap menggunakan kain lurik dan sarung. Juga rokok kretek di tangan.
Ketika aktif di Budi Utomo, Ia paling menentang jika organisasi ini hanya dijadikan organisasi untuk kebudayaaan Jawa. Saat kongres pertama pada Agustus 1908, Cipto menyampaikan gugatan dengan berani di depan kaum elit Jawa saat itu. Ia menyebut selama berabad abad, Jawa hanya jadi wilayah pribadi para pangeran saja. “Tak seorang pun mengacuhkan rakyat kecil,” ujar Cipto seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, C.M (7 September 1985).
Cipto juga tak hanya bicara, ia membuktikan keluar dari Budi Utomo saat organisasi ini dikendalikan pejabat kolonial. Bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker ia membangun Indische Partij, organisasi campuran yang lebih radikal memperjuangkan nasionalisme dan kemerdekaan Hindia.
Pemberang kelahiran Ambarawa pada 1886 ini sangat bangga dengan kelas kromonya.
Pengalaman bergaul dengan kaum kromo didapatkan dari Stovia. Pada sekolah dokter Jawa ini ternyata hanya 25 persen mahasiswanya yang berasal dari menak, bupati, patih. dan wedana. Dari statistik, sebagian besar justru berasal dari anak anak pejabat kelas menengah, seperti guru dan mantri. Bahkan ada anak pedagang, klerk dan lurah. Cipto sendiri bukan anak seorang bangsawan Jawa, tapi dilahirkan dari seorang guru saja.
Di Stovia, anak sulung dari sembilan bersaudara ini memilih indekost di kampung di sekitar sekolah. Ia bermain bola, makan dan minum, serta bermain dengan anak anak kampung,merasakan sendiri ketimpangan zaman itu. .
Akibatnya, setelah lulus pada 1905 ia tak kikuk berhadapan dengan rakyat jelata. Saat pandemi menyerang Malang pada 1910 ia terjun ke kampung kampung mengobati rakyat. Kiprahnya menjadi sukarelawan mengatasi wabah membuat ia diganjar bintang jasa Ridder Kruis dari pemerintah kolonial. (bwo)
Load more