Karya terakhir Delsy yang dipamerkan, Gelar Perang Sentot Prawirodirdjo (Foto: Pameran Delsy Silang Visual Film dan Seni Rupa)
Pada 1973 hingga 1985 masa paling subur bagi Delsy di kancah perfilman nasional. Dalam satu tahun ia bisa menangani hingga tiga film sekaligus. Semuanya menuntut sentuhan visual Delsy yang sangat khas dan disukai penonton Indonesia. Sejak dari storyboard hingga poster film. Sebut saja film Sebelum Usia 17, Cakar Maut, Noda dan Asmara, Jalal Kawin Lagi, Kuda Kuda Binal, Jurus Maut, Buaya Deli, Nakalnya Anak Anak, Masih Adakah Cinta, Jangan Sakiti Hatinya, Jayaprana hingga Aduh Genitnya.
Delsy pernah mendapat penghargaan sebagai Art Director Terbaik Asia lewat film berjudul Holiday in Bali karya Usmar Ismail pada Festival Film Asia di Tokyo, Jepang.
Sutradara film laga kolosal Imam Tantowi punya banyak kenangan dengan Delsy saat membuat film bersama. Delsy sangat lihai dalam membuat story board, semacam panduan untuk visual dan narasi sehingga naskah dan visual berlangsung lebih efektif. “Saat itu storyboard belum lazim,” ujar Imam Tantowi.
Dalam produksi Saur Sepuh, Imam meminta Delsy memvisualkan tokoh Lasmini, salah satu pendekar perempuan dalam cerita yang bermula dari Sandiwara radio itu. Imam sangat takjub dengan hasilnya. Visualnya menangkap unsur kegagahan, namun tetap sensual. Imam mengikuti sketsa perempuan yang digambar Delsy saat mencari sosok untuk memerankan Lasmini. “Ternyata benar. Saat film diputar, sosok Lasmini yang paling banyak mendapat tanggapan penonton,” ujar Imam.
Pameran juga menampilkan kiprah Delsy sebagai komikus. Pada 1978 Delsy memang menjadi editor dan komikus di sebuah lini komik penerbit Karya Baru. Di sini gambar realisme ekspresif dari Delsy membuat cerita cerita pahlawan berlatar sejarah seperti kisah Sentot Ali Basyah dengan Perang Jawa, Cut Mutia dan Perang Aceh terasa sangat filmis dan hidup. “Yang menarik, karyanya jadi bagian dari produksi dan distribusi pengetahuan negara lewat komik,” ujar Yuki Aditya, kurator pameran.
Load more