“Sangat gampang bagi negara memantau media sosial setiap warga negara. Di mana pun HRS berada, termasuk di Tanah Suci sekalipun,” tandas Reza.
“Alat-alat negara punya teknologi agar selalu bisa memonitor (dari jauh namun melekat),” ujar Reza.
Maka jika ada kekacauan yang terjadi di media sosial akibat perbuatan Habib Rizieq Shihab atau HRS, bisa segera diketahui.
“Seandainya ada keonaran di media sosial, dan itu akibat kelakuan HRS, ya ringkus saja,” tandas Reza.
Terakhir, kata Reza, penelitian menyimpulkan ada faktor-faktor utama yang menjauhkan seseorang dari perbuatan pidana berulang.
“Yaitu, ikatan keluarga yang erat, aktivitas yang mengaktualisasi diri si mantan napi, pengakuan dari publik, adanya harapan dan perasaan mampu menunjukkan kiprah produktif, serta perasaan memiliki makna dan tujuan dalam hidup,” ungkap Reza.
Itu semua diistilahkan sebagai faktor pelindung atau protective factors.
Reza kemudian mempertanyakan apakah Kumham pernah mengecek ada tidaknya lima faktor protektif tersebut pada diri Habib Rizieq Shihab atau HRS.
“Kalau ternyata tidak pernah dicek, maka alih-alih waswas terhadap HRS, saya justru menilai negaralah yang khawatir secara sangat berlebihan--untuk tidak mengatakan paranoid--terhadap HRS,” kata Reza.
Reza menjelaskan bahwa dulu setelah napi keluar dari lapas, otoritas penegakan hukum menganggap napi tersebut tidak perlu diawasi.
“Namun belakangan ini muncul tren baru di sejumlah negara. Bahwa, mantan napi terus dipantau keberadaannya.” jelas Reza.
Load more