Batam, tvOnenews.com - Rempang, bila mendengar nama wilayah itu, sebagian masyakarat tak melepaskan perhatiannya. Hal ini lantaran, karena adanya konflik argraria di wilayah tersebut, akibat proyek Rempang Eco City.
Lantas, bagaimana rentetan peristiwa di Rempang? Dalam hal ini, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi mengatakan, pada tahun 2004 ada MoU bersama antara BP Batam, Wali Kota Batam, rekomendasi ketua DPRD, dan PT MEG.
"Bahwa mereka (PT MEG) akan berinvestasi di Pulau Rempang yang luasnya lebih kurang 17.600 hektare," ujar Kepala BP Batam, Muhammad Rudi kepada tim Fakta tvOnenews.
Sementara di tahun 2023, Muhammad Rudi katakan, PT MEG ingin hal itu diinvestasikan. Maka dari itu, pihaknya mulai bekerja sampai hari ini.
"Bagaimana lahan tersebut bisa kita berikan. Namun informasi di lapangan menjadi simpang siur, bahwa 17 ribu hektare akan digusur semua, oh tidak!" pungkas Muhammad Rudi.
Lanjutnya menjelaskan, bahwa saat ini, hanya 2.000 hektare saja diselesaikan dan diserahkan ke perusahaan CIMB.
Sementara dilansir dari berbagai sumber, pada tanggal 13 Agustus 2023, Polda Riau menjemput tokoh adat Melayu Pulau Rempang, Gerisman Ahmad.
Dalam hal itu, Gerisman Ahmad dituding menolak keras relokasi warga, bahkan ia dituding terlibat kasus pungutan liar.
Kemudian dilansir dari Majalah Tempo, pada tanggal 28 Agustus 2023, Airlangga Hartarto menerbitkan reivisi peraturan soal daftar proyek strategi nasional Rempang Eco city.
Selanjutnya pada 7 September 2023, terjadi bentrok antara warga Rempang dengan pihak aparat serta polisi pamong peraja yang mengawal pengukuran lahan dan pemasangan patok.
Seusai itu, Gubernur Kepri Ansar Ahmad temui tokoh masyarakat. Lalu, mirisnya pada tanggal 9 September 2023 Ketua Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau Abdul Razak meminta pemerintah membatalkan relokasi 16 kampung tua.
Tak hanya sampai situ saja, pada 11 September masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Adat Melayu lakukan unjuk rasa di depan BP Batam.
Mirisnya, unjuk rasa itu berakhir ricuh hingga polisi menahan 43 orang dan pada 15 September mereka ditetapkan sebagai tersangka kericuhan.
Selanjutnya, saat tim Fakta tvOnenews, mempertanyakan legalitas warga Rempang yang menduduki kediamannya saat ini.
Sementara diketahui, bahwa warga Rempang sejak 1834 sudah menduduki wilayah Rempang itu sendiri.
"Ini takutnya keliru ya, mereka itu tinggal di Pesisir yang dari dahulu turun menurun, proses administrasinya tak pernah selesai-selesai," kata Muhammad Rudi.
Hal ini lantaran wewenanganya bukan di BP Batam, dan Pemko Batam. Sebab, dia katakan warga yang tinggal di bibir pantai ke darat itu urusan ke pihaknya.
Sementara, untuk titik 0 sampai 12 itu urusannya ada di provinsi. Namun dia katakan juga bahwa Batam itu berbeda, maka izinnya ada di KKP.
"Sebetulnya tahun ini lagi kita proses, bagaiamana mereka yang tinggal di bibir pantai ini bisa punya sertifikat, jadi ini sambil berjalan," ungkap Muhammad Rudi. (aag)
Load more