tvOnenews.com - Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dr. Drs. Karjono Atmoharsono, S.H., M.Hum mengenalkan yel-yel UNESA dengan semangat ketika menyampaikan keynote speech kepada 250 lebih mahasiswa program studi PPKN yang berperan aktif mengikuti Kuliah Umum di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Unesa Surabaya, Selasa (26/9).
Dalam kesempatan tersebut, Karjono memperkenalkan "Salam Pancasila" yang pertama kali diusulkan oleh Presiden ke-5, Ibu Prof. Dr. Hj. Megawati Soekarnoputri. Salam ini merupakan salam kebangsaan yang diadopsi dari pekik "Merdeka" yang dinyatakan oleh Bung Karno melalui Maklumat pada tanggal 31 Agustus 1945.
"Salam Pancasila bukanlah pengganti salam keagamaan, melainkan sebuah salam mempersatukan bangsa," tegasnya.
Selain itu, beliau juga menjelaskan lagu Indonesia Raya 3 Stanza diatur dalam UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
"Dalam pasal 61 dijelasakan apabila lagu Indonesia Raya dinyanyikan tiga stanza, maka bait ketiga pada stanza dinyanyikan ulang satu kali, dan lagu Indonesa Raya tiga stanza ini adalah lagu yang original, dan pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928, saat Sumpah Pemuda,” jelasnya.
Karjono menyoroti perbedaan dalam masyarakat Indonesia, yang tercermin dalam aksi sederhana Rektor Unesa yang mengenakan sepatu dengan warna berbeda di kaki kanan dan kiri. Ia menghubungkan perbedaan ini dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang menunjukkan kekayaan keberagaman Indonesia.
“Indonesia, dengan segala suku, agama, dan budaya yang beragam, tetap bersatu dan teguh berdiri di bawah payung Pancasila sebagai perekat persatuan yang tak tergoyahkan,” jelasnya.
Menurutnya, gaya unik Rektor UNESA ini menjadi simbol tentang bagaimana keberagaman bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan, menginspirasi semua elemen masyarakat untuk merayakan dan memelihara persatuan dalam keragaman.
Karjono juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap hasil survei yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Survei ini mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan, yaitu bahwa 85% milenial Indonesia diidentifikasi sebagai kelompok yang rentan terpapar radikalisme.
"Hasil survei yang mengindikasikan tingginya rentan milenial terhadap radikalisme adalah sebuah panggilan darurat untuk kita semua. Untuk itu perlunya pendekatan holistik dalam pendidikan yang tidak hanya mencakup aspek akademik, tetapi juga memperkuat nilai-nilai Pancasila, toleransi, dan rasa persatuan. Kita harus menggandeng seluruh lapisan masyarakat, termasuk lembaga pendidikan, untuk bersama-sama mengatasi tantangan ini demi masa depan yang lebih aman dan harmonis bagi Indonesia."
Menurutnya, pasca reformasi, aspek yang mengalami pelemahan, di dunia pendidikan, mata ajar dan mata kuliah Pancasila telah hilang, juga lembaga yang mendukung Pancasila turut dinonaktifkan.
"Antara lain Tap MPR II 1978 tentang Eka Pancakarsa atau P4 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, 1 tahun kemudian Lembaga BP7 dibubarkan, dan UU 20 tahun 2023 tentang Sisdiknas menghilangkan mata ajar atau mata kuliah Pancasila. Ini merupakan situasi yang sangat memprihatinkan," ujarnya.
“Untuk mengatasi hal ini, pada masa Pak Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR, dibentuklah Empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945,” ujarnya.
Kemudian, gerakan Revolusi Mental, Bela Negara, Wawasan Kebangsaan, enam pilar pelajar Pancasila dan dibentuknya UKP PIP dan direvitalisasi menjadi BPIP.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menetapkan PP 4/2022 tentang Perubahan Atas PP 57/2021 tentang Standar Pendidikan Nasional yang mencabut tiga PP sebelumnya, di mana dalam PP tersebut terdapat ketentuan wajib mata ajar dan mata kuliah Pancasila mulai dari PAUD hingga pendidikan tinggi, bahkan untuk pendidikan formal, nonformal maupun informal.
BPIP merupakan lembaga dibentuk berdasarkan Perpres 7/2018 telah melakukan berbagai upaya Pembinaan Ideologi Pancasila.
“Salah satu inisiatif penting BPIP bersama Kemendikbud Ristek telah menerbitkan 15 buku ajar Pendidikan Pancasila mulai dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi,” jelasnya.
Dalam konteks pendidikan Indonesia, program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka telah menjadi inovasi penting yang diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Salah satu inti dari program ini adalah "Enam Karakter Pelajar Pancasila," sebuah upaya untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila di kalangan mahasiswa.
Program ini merespons tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan, terutama selama masa pandemi COVID-19. Krisis pembelajaran, materi yang padat, dan kurangnya variasi dalam pendidikan menjadi masalah yang harus diatasi. Di tengah kurikulum yang kaku, Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka diharapkan dapat memberikan solusi dengan meningkatkan pendidikan untuk menghadapi bonus demografi tahun 2045.
Wakil Kepala BPIP, menjelaskan, "Inilah bentuk Pancasila Dalam Tindakan yang menerapkan pembelajaran dengan perbandingan 70% praktek dan 30% teori. Inilah Merdeka Belajar, Kampus Merdeka Pancasila Dalam Tindakan.
"Program ini memberikan mahasiswa kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi, tetapi tetap memegang teguh prinsip-prinsip karakter pelajar Pancasila, termasuk beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. "Ini adalah langkah positif untuk memajukan pendidikan yang berlandaskan Pancasila," tambahnya.
Karjono menegaskan peran penting mahasiswa sebagai agen perubahan di masa depan dan bagaimana mereka dapat mempertahankan nilai-nilai Pancasila di lingkungan kampus. Kebebasan berekspresi dan inovasi, sejalan dengan karakter pelajar Pancasila, membuat mereka menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan kedaulatan Pancasila sebagai Ideologi Negara.
Selanjutnya, Karjono memberikan peringatan penting terkait media sosial. Mahasiswa dihimbau agar tidak mudah percaya pada sumber-sumber informasi yang tidak terverifikasi. Dia juga mengingatkan untuk menjauhi perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti ujaran kebencian, radikalisme, tindakan terorisme, ekstremisme, dan ketidakjujuran.
Terakhir, Karjono mengingatkan tentang tiga hal yang dapat mengancam keutuhan NKRI: korupsi, terorisme, dan narkotika. Dia sangat menekankan pentingnya menjauhi tiga aspek tersebut, utamanya narkotika, karena selain merusak individu, penggunaan narkotika juga dapat merusak moral generasi penerus bangsa.
Load more