"Ketika beliau [Soekarno] bertemu, 'siapa nama bapak? Marhaen, Pak'. Tentu bahasa Sunda. 'Apakah sawah ini punya bapak? Iya'," katanya.
"Apakah padi ini punya bapak? Iya. Apakah benih ini punya bapak? Iya. Apakah cangkulnya punya bapak? Iya. Apakah ketika panen nanti bapak akan berjual sesuai kebutuhan bapak? Iya. Apakah bapak bisa menghidupi keluarga bapak dengan beras yang telah disediakan? Iya. Lalu beliau [Soekarno] bertanya, apakah dengan kecukupan bapak itu cukup? Iya, tetapi saya tidak bisa memberikan tambahan bagi orang lain," sambung Megawati.
Kemudian Megawati menuturkan lewat dialog itulah kemudian falsafah marhaenisme muncul.
Bahkan dia menambahkan makam Marhaen juga bisa dijumpai di Bandung untuk membuktikan bahwa cerita itu nyata.
“Ini sebetulnya filosofi dari pada marhaenisme, dan ini yang saya ingin kenalkan bapak presiden, bapak wakil presiden, dan kalau mau tahu supaya jangan ada prasangka, makamnya itu ada. Silakan cari di Kampung Cipagalo, Bandung. Jadi itu bukannya omong kosong," tutup Megawati. (saa/aag)
Load more