“Dipandang sebagai bagian dari “strategi awal pembubaran” Koalisi Perubahan, agar salah satu dari partai yang merasa tidak nyaman itu bisa segera keluar dari koalisi,” jelasnya.
Kemudian Umam mengatakan bahwa jika ini terjadi, maka deadlock Koalisi Perubahan sebenarnya bukan semata-mata akibat benturan ego elit partai-partai.
“Tetapi juga akibat dari cawe-cawe tangan kekuasaan yang “mengunci” tangan dan kaki salah satu partai pengusung Anies,” jelasnya.
Sehingga Umam menilai Koalisi Perubahan gamang dan tidak siap menghadapi risiko besar untuk pencapresan Anies ke depan.
“Jika Koalisi Perubahan benar-benar masih ingin tampil kompetitif, seharusnya Anies bisa lebih agresif dan berani memecah kebekuan di dalam koalisinya,” saran Umam.
Hal ini kata Umam sebab setelah bergabungnya Partai Golkar dan PAN ke kubu Prabowo, konfigurasi Parpol pembentuk poros koalisi saat ini sudah fase final.
“Tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Jika Anies tetap terdiam, Anies tidak sadar dirinya hampir kehilangan momentum,” jelasnya.
“Anies seharusnya juga paham bahwa success story-nya di Pilkada Jakarta 2017, dimana elektabilitasnya sempat tercecer di awal kontestasi, tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres Indonesia,” sambung Umam.
Maka menurut Umam, sebagai kekuatan penantang yang memiliki jaringan, kekuatan politik, dan logistik yang relatif terbatas, seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat dengan deklarasi Capres-Cawapres, finalisasi Sekretariat Bersama (Sekber), dan membentuk infrastruktur pemenangan.
“Sehingga elektabilitasnya sebagai Capres kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024 mendatang,” tutup Umam.
Load more