Pembangunan jembatan dimulai pada tahun 1992 hingga tahun 1998 dengan biaya pembangunan jembatan senilai Rp400 miliar.
"Jadi berdasarkan Keppres 28 tahun 1992 itu, sudah jelas bahwa wilayah kerja BP Batam tidak hanya di Batam saja, tapi sampai ke wilayah Rempang dan Galang," jelasnya.
Selain Keppres 28 tahun 1992, BP Batam sebagai pengelola wilayah Rempang dan Galang juga diperkuat dengan diterbitkannya PP Nomor 5 tahun 2011, tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, yang menyebutkan kawasan itu meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, Pulau Janda Berhias dan gugusannya.
Kemudian, Ariastuty Sirait katakan, selai PP itu juga menyebutkan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dilaksanakan oleh BP Batam.
"Atas dasar Keppres 28 tahun 1992 dan PP Nomor 5 tahun 2011 tersebut sudah jelas BP Batam diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengelola kawasan Rempang dan Galang," ucapnya.
Karena itu, lanjutnya, jika lahan Rempang dan Galang diberikan kepada investor, maka harus diterbitkan sertifikat HPL oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam sebagai dasar penerbitan PL dari BP Batam kepada investor.
"Jika investor yang mau masuk ke Rempang atau Galang harus mengajukan izin ke BP Batam karena investor mendapatkan pengalokasian di atas lahan HPL BP Batam. Untuk prosesnya sama seperti mengajukan alokasi lahan di Batam," jelasnya.
Ariastuty Sirait menambahkan saat ini lahan yang dialokasikan ada masyarakatnya, sehingga masyarakat yang terdampak dari Rempang Eco City diberi kompensasi yang menguntungkan untuk bergeser ke tempat baru yang lebih tertata.
Pergeseran ini demi kemajuan dan kesejahteraan yang lebih baik di masa yang akan datang, sejalan dengan suksesnya kegiatan investasi di Rempang Eco City. (ant/aag)
Load more